Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Minggu, 27 April 2008

(series) the OC season 1 and 2

I know it's a little late but lately I've been hooked on the DVDs. So far have only watched season 1 and 2.. going 3 soon :D

I've always loved series like this.. something like Sweet Valley - high school and drama and family. Too dramatic perhaps, but sometimes we thrive extra drama in our lives. It's fun to see it on television.

I like all the protagonists. They're real and they make mistakes. I especially like the Cohens - they are funny and always very loving. Sandy and Kirsten as a couple often hits shaky ground but I like how they get strong together :) my favorite character is Seth, by the way. He's egoistical and a super nerd who makes lots of stupid mistakes, but I think that's why the whole drama is light and funny.



(movie) The Other Boleyn Girl

3.5 stars, actually.

I should have read the book before seeing the movie, but even from the plot I can see that this should have been an intricate and complicated work of art.

Let me begin with the story first. Anne is portrayed by Natalie Portman - she is the elder of the two (although I think in history, she was actually younger than Mary). Anne is hot tempered, quick witted and outspoken. When she was banished to France after secretly marrying a duke, she turned evil and cunning - learning about how to reach the top in the political and social cycle. Mary, on the other hand, is a soft spoken and gentle woman. She was married but when a turn of events made the king fell for her, she had to be sent to court and became the mistress of the king.

Anne, who was angry because it was first plotted that she should steal the king's attention, devised a plot to be queen. However, when she attempted to impregnate herself through incest, she was beheaded and taken down from her position.

I can't even tell you the whole story, it is very complicated. The movie is well made and the costumes and setting are excellent, however I do not see many complications. I only see conflicts and not many facts are implied.

Natalie Portman does own the stage. She steals the show and is in so much control that it's brilliant to watch her act. Scarlett, equally mesmerizing as Portman, does her part well as Mary. However I am disappointed in Eric Bana. As the king, he completely shrinks whenever Portman is in the scene. He does not stand out much, and I think his character could actually show more emotions - complications in his eyes and expression.

Jumat, 25 April 2008

Menunggu Naa

Sequel dari 'Di Hari Ulang Tahun Naa'

Julian berusaha mengetik, tapi langkah jarinya terhenti oleh sunyi yang mengungkung ruangan. Padahal biasanya hening ini akan terisi oleh Naa – mulai dari ocehan tak penting sampai senandung lagu yang biasanya hanya membuatnya kesal.

“Mengganggu konsentrasi,” begitu selalu gerutunya. Tapi Naa selalu hanya tersenyum lebar sambil meneruskan senandungnya yang fals.

Kini ingatannya akan lagu tersebut hanya membuat Julian sentimentil.

Sudah dua bulan apartemen ini kosong. Di malam dia melupakan ulang tahun Naa, gadis itu akhirnya memilih untuk pergi. Waktu itu Julian menghabiskan semalaman di kantornya, lembur sampai hampir tengah malam. Dia pulang dengan tubuh penat, tanpa mempedulikan pintu depan yang tak terkunci dan lampu yang belum dimatikan.

Paling-paling Naa sudah tertidur kelelahan ketika menunggu, begitu pikirnya. Tapi Naa justru terduduk di tepi tempat tidur mereka, dengan pakaian basah dan wajah pucat. Ketika Julian melihat bunga segar di atas meja dan secarik kertas reservasi di restoran favorit mereka, giliran wajahnya yang memucat. Dia lupa – hari itu hari ulang tahun kekasihnya.

Naa menatapnya lesu. Pandangannya nanar. Bibir bawahnya bergetar, membuatnya tampak labil. Dia habis menangis.

“Naa, maaf..”

Naa menggeleng. “Sudahlah, Ju.”

“Aku lupa. Pekerjaan di kantor lagi menumpuk, deadline-ku besok pagi..”

Lagi-lagi Naa menggeleng, menyetop ujung kalimatnya yang belum selesai. “Gak apa-apa.”

“Kamu menunggu di sana..?” Julian tidak berani menyambung pertanyaannya. Tidak salah lagi, Naa pasti menunggunya semalaman. Julian mengambil sehelai handuk kering dari lemari, mengusapkannya lembut di kepala Naa yang masih lembab oleh hujan. Naa melucuti pakaiannya yang melekat di tubuh tanpa suara, lalu mengenakan kardigan dari tumpukan cucian bersih.

“Tidurlah,” Julian berkata tak tega. “Kita bisa pergi makan malam besok.”

Tapi Naa hanya memandangnya lagi tanpa senyum. Hanya sebuah pandangan hampa yang pasif, sesuatu yang belum pernah Julian lihat di wajahnya sebelumnya. Biasa Naa akan tersenyum mengerti dan membantunya melepaskan mantel, lalu membuatkan kopi panas dan menemaninya bekerja sampai ia sendiri terlelap di atas sofa. Kadang Naa akan duduk menonton televisi dengan suaranya dibuat mute, supaya Julian tidak terganggu.

“Entahlah, Ju,” malam ini dia berkata, “aku rasa aku sudah lelah menunggu.”

Julian melihatnya menarik koper dan memasukkan barang-barangnya ke sana. Melihat Naa mencium pipinya untuk terakhir kali dan menyeret tas keluar, sesekali menengok ke belakang untuk mengecek apakah Julian akan mengejarnya. Julian terpaku, memandang hingga tatapannya buram, terdiam sampai senyap berubah memekakkan. Naa-nya sudah pergi.

Dan dia tidak menghentikannya.

**

Naa memeluk lutut sambil berlindung dalam selimut tebal. Salju pertama sudah turun, meleleh di lekukan jendelanya.

Ruang ini pengap – sebuah kamar dadakan yang dulu dijadikan gudang oleh eks teman kuliahnya dulu. Naa tidak ingin tinggal di sini, dia merindukan dapur mungilnya yang penuh dengan pot herbal, dia rindu memandangi hujan mengalir turun melalui kusen jendela ruang kerja Julian. Dia juga rindu pada bau kemeja-kemeja Julian yang dikenakannya setiap malam. Baju-baju itu selalu kebesaran untuk dirinya, tapi sangat nyaman dan membuatnya merasa aman.

Naa mencuri pandang pada telepon genggamnya yang tergeletak di balik bantal. Dia sudah mematikannya berminggu-minggu lamanya. Entahlah, dia belum ingin mendengar rekaman otomatis operator yang melaporkan tidak ada pesan masuk di inbox voicemail-nya. Dia tidak mau mengakui bahwa Julian mungkin tidak akan pernah berusaha meneleponnya, memintanya kembali atau sekadar memaafkannya.

Naa selalu memaafkan. Naa selalu menunggu. Hanya tidak malam itu. Tidak juga sekarang.

Dia sudah menunggu lima jam di depan restoran, memeluk tubuh yang menggigil kedinginan, tanpa payung dan tanpa harga diri. Dia menangis sendirian ketika menunggu, tak menghiraukan tatapan mengiba dari para door boy dan tamu yang bergegas mencari hangat di dalam sana. Ketika jam gereja berdentang sebelas kali, Naa menghapus air mata yang bercampur dengan tetes hujan di wajahnya, lalu beranjak pulang dan memaafkan dirinya sendiri karena telah begitu bodoh.

Tapi kenapa dia masih tidak bisa melupakan pria itu?

Dia terus kuatir apakah Julian makan teratur dan tepat waktu. Apakah dia tertidur dalam sweater tipis sambil menelungkupkan lengan di atas meja kerjanya? Bagaimana jika dia sakit, karena Julian sering sekali terkena flu.

Naa menyerah kalah, lalu memencet tombol hijau pada teleponnya. Cahaya terang menyala dalam remang ruangan, bergetar beberapa kali tanda ada pesan masuk. Naa menekan nomor voicemail-nya dan menempelkan telepon ke telinga.

“Pesan pertama. Naa, I’m sorry. Hari itu aku betul-betul lupa, pekerjaanku sangat banyak.. I’m really sorry.”

“Pesan kedua. Naa, aku baru sadar – aku selalu menyalahkan pekerjaanku. Menyalahkan keadaan sekelilingku padahal aku sendirilah yang patut disalahkan. Maafkan aku.”

“Pesan ketiga. I know it’s a little late.. but happy birthday.”

“Pesan keempat. Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday to you.”

“Pesan kelima. Naa. I need you.”

“Pesan keenam. Please come back.”

Pesan demi pesan terus berdatangan, terkumpul dalam rekaman inbox-nya dan membludak minta didengarkan. Pada awalnya Naa tersenyum sendu, mengingat alasan standar yang selalu digunakan Julian untuk meminta maaf. Lalu tertawa, mendengar nyanyian selamat ulang tahun yang pertama kali didengarnya dari Julian, dari seorang pria yang tidak pernah mau menyanyi di depan umum, untuk siapa pun. Dan menangis, ketika pria yang sama memohonnya kembali, dengan suara serak yang putus asa.

Pesan terakhirnya tak bersuara. Hanya ada hening – di antaranya samar-samar Naa mendengar desah dan air mata.

**

Julian menutup pintu dengan suara keras. Di tepi alas kaki dia melihat sepasang sepatu boots yang sudah sangat dikenalnya – milik Naa.

Cepat-cepat dia berlari ke dalam, mencari-cari sosok itu.

Seorang gadis sedang terlelap di atas sofa, tangannya menggenggam remote dengan televisi yang masih menyala tanpa suara. Secangkir kopi dingin sudah dibuat dan diletakkan di atas meja, di sebelahnya sebuah cangkir kedua menemani.

Gadis itu membuka mata ketika mendengar Julian masuk, lalu mengulaskan setengah senyum.

“Hei.”

Julian membalas senyumnya.

Malaikat kecilnya sudah kembali.

**

Rabu, 23 April 2008

Anyone Else But.. You

The pebbles forgive me,
The trees forgive me,
So why can't,
You forgive me?
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
But you

Du du du du du du dudu
Du du du du du du dudu
I don't see what anyone can see,
In anyone else,
but you.

Selasa, 22 April 2008

(movie) Juno

I didn't know what to expect, I guess at first I thought this was something like It's a Boy Girl Thing, which was funny but not essentially deep. This is a new era of young adult movie.. something like an indie but way better!

Juno is a witty girl who refuses to fall in any kind of high school stereotypes. She plays the guitar, she knows music older than her own age, she has a cheerleader as a best friend, she is not afraid to speak her mind, she has cool parents, she swings a juice bottle as she walks.. and she is pregnant.

It started with a chair. She and her best friend (played by Michael Cera, who portrayed the character brilliantly) slept together out of boredom and curiosity. She couldn't go through with abortion so she found two perfect people to adopt her baby.

It was honest, and very funny. I fall in love with the movie after 5 minutes it starts playing.. and I just think I cannot find a movie like this elsewhere. The characters are so well developed and real. The songs are weird but perfect for the movie. Dialogue.. well written. Great plot, great conflict.

4.5 stars.

Senin, 21 April 2008

Menunggu

Keringatmu sudah berkerak

terlalu lama menungguku

Air mata sudah mengering

terkikis oleh penantian

Sudahlah, sudahlah

Kamu toh tidak harus menunggu?

tapi..

jika kamu menunggu

Sebentar lagi

Sedikit lagi lebih lama

Mungkin…

Mandek dot com

Hasil tulisan yang mampet. Kenapa yah sudah setahun ini saya mampet terus..? kayaknya isi kepala mandek dan tangan gagal menyampaikan apa yang ingin disampaikan otak :(

Ada seorang gadis.

Namanya aku tidak tahu.

Di mana dia tinggal, aku pun tidak tahu.

Aku hanya tahu dia selalu duduk di halte bus yang mengarah ke Louvre, roknya melambai-lambai ditiup angin ketika dia berdiri. Tapi dia tidak pernah naik, hanya menunggu. Menunggu siapa, itu aku juga tidak tahu.

Gadis itu biasanya mengenakan terusan putih tanpa lengan bermotif di bagian hemnya. Sebuah topi putih lebar menutupi kepala, dan di pundak tersandang sebuah tas kanvas berwarna senada. Begitu setiap hari. Aku melihatnya melalui jendela bus yang buram oleh debu dan air hujan, memandangnya hingga bus berbelok dan aku kehilangan jejaknya.

Kadang-kadang ketika busku kebetulan berhenti di haltenya, kami akan berpandang-pandangan. Aku dari tempat dudukku di bus, dia dari sandarannya di tiang halte. Dan kadang-kadang, jika aku sedang beruntung, dia akan tersenyum.

Aku malu kalau aku tidak punya cukup keberanian untuk membalas senyumnya. Aku terdiam seperti arca batu, menyerap segala hal tentangnya dalam memoriku, baru tertawa seperti orang bodoh ketika bus berlalu. Bodoh, sungguh benar-benar tolol!

Yang lebih bodoh lagi, aku juga tidak pernah berani turun di halte tersebut, hanya untuk menyapanya. Sampai hari ini.

Jumat, 04 April 2008

On Leave

Perpisahan selalu menyedihkan, jika tidak menyakitkan. Apa pun jenisnya.

Entah kenapa mata saya bisa ikut berkaca-kaca ketika menonton Ramiele dieliminasi saat American Idol kemarin. Padahal saya baru beberapa kali menonton performance-nya saat menyanyi, dan suara serta penampilannya memang bagus. Ramiele adalah seorang part time worker di sushi parlor yang suka menyanyi, keturunan Filipina dan Amerika. Ketika dia masuk bottom three dan 'dibuang' semalam, entah kenapa saya turut sedih melihatnya.

Belum lagi eliminasi America's Next Top Model tiap minggu. Walau selama ini model kesukaan saya belum dieliminasi, tetap saja sedih melihat satu persatu mereka hengkang dan pulang menarik koper.

Ngomong-ngomong tentang kepergian, beberapa dari teman kerja saya di kantor akan resign (atau bahkan sudah resign). Change is the only constant thing. Although I would prefer things stay the same forever, it just means I'm too stuck in my comfort zone. Manusia harus berubah, jalannya berubah, dan segalanya tidak akan sama lagi.