Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Kamis, 02 Mei 2013

Sneak peek novel Melbourne: Rewind

Dear readers,

My new book is going to hit the stores soon! Kira-kira pertengahan tahun, bagian dari proyek Setiap Tempat Punya Cerita.

Berikut sinopsisnya:



MELBOURNE
Winna Efendi
Rewind

Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,

EDITOR

Dan berikut first chapternya.



Max

Sejak kecil, gue selalu terpesona pada cahaya. Kilatan petir, sebentuk garis perak yang membelah langit sesaat sebelum guntur menggelegar. Bintang jatuh. Kunang-kunang. Cahaya redup di ekor pesawat. Konstelasi yang membentuk peta langit. Mercu suar. Remang lampu di tepi jalan. Oranye gelap yang berubah kemerahan menjelang matahari terbenam.

Gue masih ingat suatu hari di mana kami sekeluarga memutuskan untuk camping di kebun belakang rumah, dengan tenda yang didirikan seadanya, dan sebentuk alat grill bekas yang kembali berasap setelah menganggur sekian tahun. Beberapa hari sebelumnya, gue baru saja mengalami kecelakaan kecil. Sepeda terantuk batu, dan gue yang sukses terjerembab di pinggir jalan, lalu berakhir di rumah sakit dengan gigi depan patah dan keretakan tulang siku. Di otak Max kecil versi sepuluh tahun, bagian terburuknya bukanlah keluar masuk ruang operasi untuk memperbaiki luka-luka di tubuh gue, tapi ketinggalan acara field trip sekolah yang sudah gue nantikan penuh harap selama berminggu-minggu. Ma dan Pa, begitu gue menyebut kedua orang tua gue, nggak bergeming dengan tangisan dan rengekan maupun pujian dan ratapan, bersikukuh dengan perintah supaya gue tetap di rumah selama sebulan penuh.

Nggak ada lagi lari-lari di lapangan, main sepak bola, manjat pohon mangga tetangga. Sebulan tanpa udara segar, ngebut sepeda dengan Ted dan Benny, jajan di luaran, kegiatan outdoor liburan musim panas… Lebih parahnya lagi, masuk sekolah hanya untuk menjadi pendengar pasif bagi kisah petualangan luar biasa teman-teman sekelas yang kamping di hutan, berinteraksi dengan alam dan makan roasted marshmallows di depan api unggun. Gue akan terpaksa harus puas hanya membolak-balik foto polaroid di mana nggak ada jejak gue sama-sekali. That’s gotta suck big time.

Tapi malamnya, Ma dan Pa menggiring gue ke kebun belakang. Di sana, sebuah tenda sederhana berbau apak telah dibangun, lengkap dengan rib-eye gosong masakan sendiri di atas piring kertas yang lembek karena berlumur minyak dan ketchup. Kata Pa, ini kejutan untuk menghibur gue yang murung. Kata Ma, ini hanya alasan kamuflase Pa yang juga rindu dengan aktivitas outdoor yang dulu ditekuninya semasa kuliah. Dulu, sebelum sebuah kecelakaan merenggut kemampuan berjalannya dengan baik.

Semalaman, kami main tebak-tebakan sambil menunggu hujan bintang yang diperkirakan akan muncul menjelang tengah malam. Membentuk bayang-bayang binatang dengan senter dan lipatan tangan. Menamai rasi bintang sebisa kami. Favorit gue adalah memandangi pesawat meninggalkan landasan, menghilang di balik gumpalan awan, sampai tiada sama sekali.

Rumah masa kecil gue dekat dengan bandara – sebuah keberuntungan, sekaligus kesialan. Ma kerap kali mengeluh bahwa keributannya bisa membangunkan orang mati sekali pun. Deru mesin kapal terbang yang pulang pergi tiap harinya memang cukup bising, terutama di saat gue sedang tidur dan tiba-tiba tersentak kaget akibat bunyi dan getaran barang-barang, menyerupai gempa berskala rendah. Pernah sekali, dalam kepanikan berusaha menyelamatkan diri, gue yang masih separuh tertidur menyambar selimut dan harta benda seadanya, lalu berlari keluar hanya mengenakan celana boxers, sampai akhirnya baru menyadari bahwa yang barusan terjadi bukanlah hari kiamat. Lama-kelamaan, gue terbiasa, bahkan mulai sering duduk sendirian di atap, merokok sambil memandangi kerlip lampu pesawat – menjauh, menjauh, lalu hilang seluruhnya. Hingga kini pun, setiap jauh dari rumah, yang gue kangenin adalah dengung mesin pesawat, dan jejak kecil di atas langit yang menunjukkan kepergian atau kepulangan seseorang.

Itulah awal mula sejarah gue dengan cahaya. Sejak saat itu, gue mulai mencari tahu lebih banyak tentangnya. Kekaguman gue akan ciptaan Tuhan yang satu itu nggak pernah habis. Gue mulai terobsesi; pada kaleidoskop, yang bentuknya berubah seiring dengan perputaran tabung dan cahaya yang terpantul olehnya, pada laser show, pada LED art, juga cahaya alam, seperti gerhana dan segala keindahan yang menyertai keajaibannya.

Buat gue, cahaya adalah konsep universal, tapi sebenarnya sangat pribadi. Setiap orang dapat melihatnya, merasakannya, tapi persepsi mereka mengenainya bervariasi, tergantung emosi dan pengalaman sang penglihat. Interpretasi seseorang terhadap cahaya berbeda-beda, begitu juga makna cahaya tersebut bagi mereka. A light is never just light. Cahaya, seredup apa pun, mampu mengiluminasi kegelapan, dan menjadi medium yang menghidupkan dunia. Bagi gue, cahaya adalah hal terindah di dunia ini.

Yet whenever I think of light, I’m always reminded of her.

**

Namanya Laura. Laura Winardi. Golongan darah AB negatif, vegetarian yang tergila-gila pada makanan manis, fanatik warna ungu, penyuka kucing, alergi seafood, dan bisa sangat defensif jika disinggung mengenai selera musiknya, yang menurut gue sulit dimengerti.

Gue pertama kali ketemu Laura enam tahun yang lalu, di gedung fakultas arsitektur Melbourne Uni. Hari itu hari yang biasa-biasa aja buat gue, seperti biasa bangun agak telat, datang terlambat, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sang dosen sedikit terlambat juga. Begitu kelas berakhir, gue sedang tergesa-gesa menuju kelas selanjutnya ketika dia menghalangi langkah gue dengan tangan terulur dan bilang, “I want my walkman back.”

Saat itu, gue berdiri dengan tampang huh? yang paling polos, sedangkan dia mengulurkan sebelah tangan berbalut sarung wol warna merah marun sambil terus memandangi gue, seakan berharap gue akan melakukan satu trik magic yang menakjubkan dan mengeluarkan apa pun yang dia minta dari udara kosong.

Oke, harus gue akui waktu itu, pikiran terakhir yang melintas di otak gue yang sedang butuh kafein bukanlah masalah apa yang dia mau dari gue. I was thinking – eh, nih cewek lucu juga.

No, scratch that, she’s actually really pretty. Tinggi, berkaki jenjang dan berambut ikal yang tergerai hingga punggung. Dia mengenakan begitu banyak lapisan pakaian yang membuatnya terlihat seperti manekin toko baju dingin, mulai dari jaket winter merah hingga sweater tebal di baliknya, lengkap dengan syal dan boots berwarna sama. Wajahnya oval, bintik-bintik cokelat muda tersebar seperti konstelasi bintang di kedua pipinya. Giginya gemeletuk karena musim dingin di Melbourne sedang parah-parahnya, sedangkan hidungnya merah walau seluruh wajahnya pucat. Dan tangannya – sangat, sangat mungil seperti milik anak kecil, terjulur meminta sesuatu yang nggak gue miliki.

“Excuse me, my walkman?” ulangnya, kali ini kehilangan kesabaran.

Respon gue kurang lebih adalah raut blank yang mungkin menyebalkan baginya, karena dia lalu memelototi gue dengan garang dan mengacungkan selembar kertas berisi sketsa walkman jelek warna hitam dengan tulisan spidol: LOST WALKMAN dan sederet nomor telepon.

Gue baru saja mau protes dengan bilang orang gila mana yang mencari walkman jaman jebot layaknya anjing hilang, saat gue teringat bahwa gue memang pernah melihat benda itu. Sebuah walkman segi empat yang terlihat sudah terlalu sering dipakai hingga permukaannya lecet dan tombol rewind yang sudah nggak berfungsi lagi. Sepasang earphone yang tersambung pada alat itu, dengan busa tempelan yang sudah babak belur, dan kaset di dalamnya yang agak sember saking seringnya diputar. Gue menemukannya di konter Lost and Found di gedung kampus, saat sedang mencari-cari buku perpustakaan yang nggak sengaja tertinggal di salah satu ruang kelas.

Entah kenapa, walkman itu menarik perhatian gue, terlihat aneh dan out of place di samping sepasang sepatu gym tua yang tak berpemilik, pakaian renang bekas bermotif bunga-bunga, dan setumpuk buku yang mulai mengumpulkan debu. Gue pikir, benda itu kemungkinan besar sudah cukup lama berada di sana, dan siapa pun pemiliknya pasti sudah mengambilnya jika memang masih menginginkannya. Lagipula, orang jadul mana yang masih menggunakan walkman di era MP3 player seperti sekarang? Jadi, tanpa alasan yang jelas dan justifikasi ini-itu, gue pun mengaku sebagai pemiliknya dan memboyong benda itu pulang, walau sampai sekarang sang walkman masih bersarang di dasar ransel, tertumpuk barang-barang lain, terlupakan.

Gue pernah mendengarkan kaset yang ada di dalam walkman itu sekali. Kebanyakan adalah lagu-lagu yang nggak gue kenal, lirik-lirik sendu bernada mellow rock yang diiringi petikan gitar akustik atau sesekali pukulan drum. Bukan selera gue, dan bukan jenis musik yang akan gue cari di toko CD, tapi saat mendengarkannya, gue tertidur pulas hingga pagi menjelang, walau biasanya gue orangnya susah tidur. Waktu kami masih pacaran, kadang gue bahkan meminjamnya hanya untuk mendengarkannya sebelum tidur. She used to say, it’s like a little fetish of mine, dia dan lagu-lagunya. Dia benar.

Kalau gue pikir-pikir sekarang, mungkin kehilangan buku dan menemukan walkman itu di sana adalah takdir, permainan hidup yang bertujuan untuk mempertemukan gue dan dia.

Walkman itu sepertinya sangat berharga buat sang empunya, karena ekspresi wajahnya saat mendapatkan kembali benda itu seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun tujuh-temurun. Gue terpana memandang dia berjalan pergi tanpa mengucapkan terima kasih – which is ineffectual karena toh memang gue yang ‘mencuri’ barangnya – sampai gue sadar, sedari tadi gue masih memegang fotokopi selebaran walkman hilang lengkap dengan nomor telepon pemiliknya.

And the rest is history. Lo pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tepatnya, begini sejarah kami: gue dan Laura ketemu, kami pacaran, kami putus. End of story.

**