Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Senin, 08 September 2014

Mo (bagian 4)

"Aku pengin naik bianglala."

Itulah yang dikatakan Mo pagi ini, ketika kami berjalan menuju halte bus, dia untuk berangkat ke tempat pemotretan untuk iklan perhiasan, aku untuk mengantar portfolio ke kantor seorang calon klien.

"Bianglala?"

"Muter-muter, taman bermain, bulet," jawabnya sekenanya.

"Iya, tahu."

"Pergi, ya?"

Aku menatapnya. Gadis ini punya seribu satu keinginan-keinginan aneh yang tak terduga pada saat-saat ganjil. Baru minggu lalu dia tiba-tiba datang ke tempat kosku untuk makan sepiring martabak Ovomaltine yang harganya delapan puluh ribu sekotak. Sebelumnya dia datang ingin meminjam kaset rock metal yang tak kupunyai, atau tiba-tiba ingin menonton film Titanic untuk kesekian kalinya.

Seperti orang mengidam.

"Kamu lagi hamil, ya?"

Dia melotot. "Hus! Atau mungkin iya, ya. Hamil banyak impian..."

Maka, jadilah kami naik bianglala sore itu.

**

"Naik bianglala sebelum matahari terbenam itu paling bagus," katanya. Hidungnya menempel pada kaca jendela, tak lepas selagi kotak kecil yang mengangkut kami berputar seratus delapan puluh derajat, lambat tetapi mampu membuat hatiku melonjak tak karuan. Aku tak pernah suka ketinggian.

"Bentar lagi kan, taman bermain tutup."

"Justru itu bagusnya. Kita bisa liat keluarga yang berbondong-bondong keluar, setelah puas main seharian. Bikin aku kangen sama masa kecil. Kebahagiaan sederhana itu yang paling indah, ya kan?"

Telapak tangannya menekan kaca, membuatku gugup karena dia terus-menerus bergerak gelisah.

"Kamu nggak menikmati ini semua, ya?" Dia berpaling dan tersenyum lebar kepadaku. "Kurasa kamu bukan orang yang terlalu romantis."

Aku tidak suka berada beberapa kaki di atas tanah, dibawa bergerak naik turun tanpa kepastian kapan semua ini akan berakhir. Tetapi melihat gerak-geriknya yang lucu membuatku sedikit lebih baik.

"Yah, aku orang yang praktis."

"Kalau nggak suka ketinggian, kenapa  kamu setuju?"

Kenapa aku setuju memboncengnya beli martabak malam-malam, kenapa aku setuju mengantri satu jam demi semangkuk soto yang rasanya biasa saja, kenapa aku setuju menggedor kamar tetangga untuk meminjam kaset band metal. Semuanya demi Mo.

"Kurasa, aku rela melakukan banyak hal demi kamu. Kita teman, kan?"

Senyumnya luar biasa cerah waktu itu. Rasanya semua ini sedikit banyak terbayarkan.

**

Ketukan pintu kian keras. Aku membenamkan kepala yang sedari tadi terasa layaknya habis dihantam gada dalam-dalam di bawah bantal.

"Ini aku!" Dia berteriak, membuatku menyingkirkan bantal barang sejenak.

Mo?

"Kamu tahu alamatku dari mana?"

Dia nyengir, melihat kondisiku yang masih berbalutkan kaus tidur dua hari yang lalu, rambut tornado, dan muka merah yang bergantian dengan pucat. Tanpa banyak omong, ditempelkannya punggung lengan pada dahiku, lalu dahinya sendiri, dan kembali ke dahiku.

"Toko buku. Kamu demam."

"Empat puluh derajat Celcius, sudah dua hari."

"Sudah ke dokter?"

Aku menggeleng. Lalu dia menggelengkan kepala juga, saat menemukan strip-strip obat yang setengah termakan di atas meja. Aspirin dan obat flu bercampur menjadi satu.

"Tidur," perintahnya.

Aku tak perlu disuruh dua kali, dan langsung merayap ke balik selimut. "Buku dan komik ada di sebelah sana. Kau bebas mengacak-acak selama mengembalikannya ke tempat semula."

Dia menggumam tak jelas, dan sebelum aku berpikir lebih jauh tentang kehadiran perempuan pertama dalam kamar kosku selama tiga tahun terakhir ini, aku sudah jatuh tertidur.

**

Aroma harum. Bawang, dan sesuatu yang agak pedas.

Aku membuka mata, dan menangkap siluet seseorang dalam rok midi merah tua, sweter cokelat dan bertelanjang kaki.

Dia belum pergi.

"Mo?"

Mo menoleh, tersenyum riang sembari membawakan dua mangkuk berisi sesuatu yang kental dan harum itu.

"Makanlah."

Di luar sudah gelap. "Kamu nggak pulang?"

Dia menggeleng. "Kamu sakit," jawabnya, seolah itu adalah alasan. Padahal bukan.

"Pulanglah. Sudah malam. Aku baik-baik saja."

Lagi, dia menempelkan tangan di keningku. "Panasnya belum turun, obatmu mungkin nggak cocok. Makanlah yang ini setelah perut terisi."

Di atas meja telah tersaji segelas air hangat dan strip baru berisi obat yang tak kukenal namanya, serta sebotol obat cair yang tampak seperti obat batuk. Entah kapan dia keluar untuk membelinya. Kamar kosku pun tampaknya lebih rapi, berbau lemon ketimbang kaus kotor yang belum sempat dicuci dan menumpuk di balik pintu.

"Bubur?" Aku mengendus dari tempat tidurku. Ketika kulihat isinya, potongan wortel dan kentang tenggelam di dalam kuah kecokelatan yang kental. Aroma yang tadi kucium datang dari bawang bombay yang ditumis nyaris gosong, bercampur dengan potongan daging.

"Orang sakit butuh energi dan makanan enak," katanya, "bukan beras cair nggak bertekstur yang nggak menimbulkan nafsu makan. Beef stew buatanku lumayan, lho. Resepnya sudah ada dalam keluargaku turun-temurun."

Aku mencoba sesendok dengan tentatif. Rasa gurih kaldu sapi yang direbus lama bersama sayuran lumer di lidah. Setelah bermangkuk-mangkuk mi instan dan tidur dengan perut kembung, masakan Mo ini membuatku tak ingin berhenti makan.

"Terima kasih."

Dia hanya tersenyum kecil.

Mengantri soto dan martabak malam-malam. Naik bianglala di sore hari. Dan hari ini, dia telah membayarnya dengan kehadirannya, serta semangkuk beef stew yang membuatku hangat luar dalam.

**