Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Jumat, 12 Juli 2013

Graphic Novels

When I was in high school, a friend of mine used to collect mangas. There were piles of Japanese manga volumes lining up the shelves in her room, and we would all go there and borrow some, or go wow at her vast collections. It was from her that I developed a fondness for some mangas, and gradually built my own collection and found the ones I treasured the most till now.

Now I'm 27 and still an avid reader of manga. I read most genres, from horror to young adult to romance to fun ones that tackle fantasy and cooking and modelling. But the ones I really care about are slice-of-life stories, be it a story about every day life (Mokke, Yotsubato), to heartwarming ones (Here We Are), historical/period manga (Emma, Gisele Alain) and sweet high school mangas. I do love a bit of drama, but there is something raw and beautiful in reading about everyday lives.

My love for graphic novels grow beyond Japanese mangas. It is through another friend that I learn about Marjane Satrapi's Persepolis series, and through Goodreads that I finally discover Smile. I also cherish my collection of Kim Dong Hwa's graphic novels - they are always so gentle, with beautiful illustrations and almost a poetic narrative as well as dialogue. Graphic novels are fascinating. They contain painstaking and wonderful artwork, but need a strong story to hold the whole piece together. Sadly, I haven't read that many, but I'd still recommend them anytime.





On my wishlist:


Solanin: about the life of a girl trying to fit in and find her place in the world


Oddballs living in an old house. Contemporary.


Silent short stories about human relationships? I'm in.


This one's part of a stand-alone series, depicting human lives.


Rabu, 03 Juli 2013

Happy #unforgotTEN, Gagas Media!


Saya pertama kali mengenal Gagas Media sekitar tahun 2006-2007. Waktu itu, saya sedang keranjingan membaca novel-novel Indonesia, dan salah satunya adalah karya mbak Novita Estiti yang berjudul Subject: Re, diterbitkan juga oleh Gagas Media. Dan saat-saat itu, saya juga memasukkan menerbitkan sebuah novel dalam bucket list pribadi - hal-hal penting yang harus dilakukan dalam hidup, terinspirasi dari buku 100 Things to Do Before I Die. Mungkin karena itulah saya cukup menggebu-gebu menulis setiap hari dalam lembaran buku notes bekas, menuliskan kisah-kisah novel saya yang pertama.

Photo credit: askdavetaylor.com

Tetapi, perjalanan menulis maupun menerbitkan buku tidak semudah timbulnya semangat dalam menulis. Meskipun menulis setiap hari, saya benar-benar 'hijau' dalam memulai, tanpa persiapan maupun pengetahuan dalam dunia penulisan, apalagi penerbitan. Ketika karya berbahasa Indonesia pertama selesai, saya asal mengirimkannya ke setiap penerbit yang saya tahu, berbekal Yahoo! search, tinta printer yang terisi penuh, lembaran amplop dan surat perkenalan. Saya mengirim bundel-bundel itu ke setiap redaksi penerbitan, berharap suatu hari nanti saya akan mendapatkan surat balasan. Sayangnya, surat-surat tersebut tidak membawa kabar baik.

Lompat setahun dua tahun kemudian, saya menyelesaikan naskah untuk novel Ai. Lagi-lagi, saya pun mengirimkannya ke beberapa penerbit yang saya kenal, berharap naskah tersebut dapat diterima. Lagi-lagi, surat-surat yang saya temukan dalam kotak pos biasanya diawali dengan mohon maaf, kami belum bisa menerima naskah anda. Cukup lama waktu berlalu sampai akhirnya tiba akhir tahun 2008. Saya ingat waktu itu saya baru saja operasi gigi bungsu, di keempat tempat sekaligus, sehingga yang bisa saya lakukan adalah beristirahat dengan semangkuk es krim dan pipi super bengkak. Tiba-tiba masuk telepon dari mbak Alit, yang memperkenalkan diri sebagai redaksi Gagas Media, dan ia telah membaca naskah Ai, juga ingin menerbitkannya.

Sambil menelepon mbak Alit, saya antara ingin jejingkrakan girang, teriak kencang HOREEEEE, juga berusaha berbicara sejelas mungkin karena kondisi saat itu membuat saya agak sulit membuka mulut. Haha.. kalau ingat saat-saat itu rasanya lucu banget, karena saat itulah pertama kalinya saya mengenal Gagas Media secara resmi.

photo credit to sussexbooks.co.uk

Singkat kata, empat revisi pribadi dan beberapa bulan kemudian, naskah Ai akhirnya resmi dibukukan, menggunakan kover ciamik warna hijau telur asin ciptaan Jeffri Fernando yang saya suka setengah mati itu. Selanjutnya, naskah demi naskah, kembali saya kirimkan ke penerbit Gagas Media. Kalau dihitung-hitung, sudah 9 proyek yang kami kerjakan bersama - Ai, Refrain, Glam Girls Unbelievable, the Journeys, Remember When, Unforgettable, Truth or Dare, Draf 1, dan Melbourne: Rewind.

Launching the Journeys tahun 2011

Saya masih ingat kunjungan pertama ke headquarter Gagas Media di Jagakarsa. Itu tahun 2009, pra cetak Refrain, dan ketika saya datang, teman-teman Gagas Media sedang sibuk memilih kovernya. Di sanalah saya baru bertemu dengan kru dan redaksi Gagas Media, orang-orang yang selama ini hanya saya dengar saja suaranya di telepon. Saya bertemu dengan mbak Windy Ariestanty, yang dengan semangat memilih kover amplop biru (tanpa ragu mbak Windy memilih kover itu, sedangkan saya, walaupun jatuh cinta juga dengan kover tersebut, sempat tergoda dengan image trampolin di alternatif kedua). Saya juga bertemu dengan Christian Simamora, yang sampai sekarang ini menjadi teman terbaik saya dalam berdiskusi ide maupun plot novel, dan editor yang tanpa basa-basi akan mengkritik naskahmu, just as it is, because it is the way it is. Kemudian masih ada Jeffri Fernando, mbak Alit, Resita, mbak Gita, dan masih banyak lagi, teman mengobrol tentang naskah dan novel-novel seru. Belakangan, saya juga berkenalan dengan mas Emka, mbak Wulan dan mbak Echa, mbak Widyawati Oktavia, Annisa, Jia Effendi, Michan, mas Em, dan kawan-kawan. Bagi saya, mereka semua adalah wajah-wajah di balik Gagas Media, yang membentuk lem dan pondasinya.

Bersama Christian, mas Emka, Jeffri dan mas Riva selama Pesta Buku Jakarta 2010

Dulu, saya sempat menulis di buku Draf 1 mengenai tata cara menentukan penerbit yang baik. Saya menyinggung hal-hal seperti promosi, pembagian royalti yang adil, keterlibatan penulis dalam proses penerbitan, dan lain-lain. Kini saya sadari, hal-hal itu bersifat teknis, dan kalau ditanya lagi sekarang mengenai ciri-ciri penerbit yang baik, maka jawaban saya hanya satu. Temukanlah penerbit yang dapat menjadi keluargamu.

Hubungan antara penerbit dan penulis bukan hanya terpaku pada sekadar perwujudan naskahmu menjadi buku yang dicetak dan diedarkan di toko-toko buku. Bukan hanya persentase yang dibagikan setiap beberapa bulan sekali. Bukan percakapan pendek di telepon mengenai sisi-sisi teknis penerbitan dan deadline naskah. Bukan tentang untung rugi, siapa yang lebih menguntungkan, siapa yang lebih terkenal, siapa yang lebih unggul.

Bareng Haqi Achmad dan tim Gagas (Resita, mas Em, mbak Widyawati, Jeffri) di M&G film Refrain 2013

Saya tahu, saya hanyalah satu dari sekian banyak penulis-penulis yang bernaung di bawah nama penerbit Gagas Media, tapi buat saya, Gagas Media sudah menjadi teman, partner, juga keluarga kedua. Kami bertumbuh bersama, sama-sama berjalan dalam baby steps, working in tandem karena bagi saya, itulah yang paling penting dalam hubungan seorang penulis dengan penerbitnya. Segala sesuatu dilakukan bersama-sama.

Di luar itu semua, saya salut pada Gagas Media yang dalam sepuluh tahun ini telah berkembang luar biasa - terus melihat potensial dalam naskah penulis-penulis baru tanpa pandang bulu, menciptakan tren lewat kover-kover buku dan sinopsis yang sensasional, dan terus aktif dalam dunia buku Indonesia.

Launching Unforgettable dalam Unforgettable Moment bersama Gagas Media, 2012

Baru saja pagi ini sebuah pikiran terbersit dalam benak saya - buat sebagian orang, mungkin sebuah nama adalah merk, logo, penanda. Tapi, Gagas Media adalah orang-orang di baliknya. They're the ones who carry the name.

Begitulah sepenggal sejarah saya bertemu dengan Gagas Media.

photo credit to Glover Cupcakes

Jadi, saya ucapkan selamat hari jadi yang kesepuluh - hari ini, 4 Juli 2013.
Semoga dalam tahun-tahun mendatang, Gagas Media akan semakin sukses.

Dan tak lupa, terima kasih banyak.
I think I'm just lucky to work with all of you.