Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Kamis, 18 Desember 2014

Perjalanan sebuah naskah menjadi buku

Hari ini saya ingin berbagi tentang behind the scene sebuah naskah berkembang menjadi buku yang dipajang di toko-toko dan dijual.

image taken from docstoc.com

Di sini saya hanya berniat sharing pengalaman saya sejauh ini tentang behind the scene buku-buku saya. Buku, penulis dan penerbit yang berbeda tentu memiliki proses yang lain pula, dan kebijakan yang diterapkan tidak selalu sama. Ini juga berlaku bagi saya yang menerbitkan naskah lewat penerbit, bukan self publishing alias menerbitkan buku sendiri.

Pertama-tama, naskah selesai ditulis. And then what? 

Biasanya, saya mengirimkan naskah tersebut ke editor yang selama ini sudah menangani buku-buku saya. Jika penulis baru, biasanya mengirimkan printout naskah ke alamat redaksi, ditujukan ke redaksi untuk dibaca dan difilter, apakah naskahnya akan diterbitkan atau dikembalikan.

Pada umumnya, sang editor akan mengabari bahwa naskah sudah diterima dan sedang dibaca. Barulah selang beberapa bulan kemudian, editor akan mengabari 'nasib' sang naskah. Ada tiga pilihan di sini: ditolak, butuh revisi, atau siap jalan. Ditolak berarti naskah tidak akan diproses menjadi buku untuk diterbitkan di penerbit tersebut. Siap jalan berarti naskah siap langsung diproses menjadi buku dan mengikuti berbagai prosedur di penerbit. Seringnya, naskah masuk ke status butuh revisi. Ini berarti, editor akan berkomunikasi dengan penulis tentang berbagai revisi yang dirasa perlu agar naskah lebih maksimal. Misal, dialognya kurang interaktif. Plot ini kayaknya nggak perlu, deh. Ada inkonsistensi di bagian ini, coba diperbaiki. Karakternya kurang berkembang. Dan masih banyak lagi, tergantung naskah tersebut. Nantinya, editor akan memberikan tenggat waktu untuk revisi ini sampai harus dikembalikan lagi ke editor, dan prosesnya terus berlangsung sampai editor merasa naskah sudah oke.

Nah, tahap oke ini adalah yang paling dinanti penulis. Artinya, naskahnya sudah matang dan siap menjalani tahap berikutnya, yakni masuk ke dapur penerbit. Saya pribadi tidak bisa mengaku ahli karena saya bukanlah 'orang dapur' langsung, tapi kurang lebih prosesnya begini:

- Penerbit melakukan rapat internal untuk menentukan jadwal terbit untuk naskah-naskah yang ada. Naskah kita akan diterbitkan sesuai kebijakan penerbit, biasanya pada jadwal yang sesuai dengan berbagai faktor seperti tema promosi, timing yang pas dengan tanggal-tanggal penting atau hari besar tertentu, jangka waktu buku-buku dari penulis yang sama terbit (biar tidak terlalu mepet juga tidak terlalu jauh selisih waktunya), dan lain-lain.

- Tim redaksi akan melakukan editing dan proofreading sembari membuat layout dan kover/sampul buku. Editing dan proofreading dilakukan berkali-kali agar kualitas naskah maksimal, dan bagian estetika juga dipertimbangkan lewat layout serta kover yang cantik, mewakili cerita serta ciri khas penerbit. Di sini, saya membayangkan ada jadwal serta persiapan lainnya yang dibicarakan dengan pihak percetakan dan distribusi, juga tim promosi. 

- Setelah naskah selesai diproofread dan sudah memiliki layout serta pilihan alternatif kover, editor akan menghubungi penulis agar kembali membaca dan melihat hasil akhir sebelum dicetak. Biasanya, saya akan membaca kembali naskah tersebut dua kali, dan mengirimkan surel ke editor untuk menandai bagian yang mungkin membutuhkan koreksi, misal ejaan. Editor dan penulis bekerja sama untuk memastikan naskahnya bebas typo, dan semuanya konsisten. Untuk kover, saya ikut voting alternatif kover yang sekiranya tepat untuk si buku, namun pada akhirnya sepenuhnya menjadi hak penerbit untuk memilih. Kenapa? Karena penerbitlah yang paling memahami pasar dan tren, dan mewakili penulis untuk mempersiapkan yang terbaik bagi bukunya.

- Penulis menandatangani surat persetujuan cetak, kontrak buku, dan administrasi lainnya. Menyetujui dan ikut memberi saran dalam penulisan sinopsis/blurb. Menulis ucapan terima kasih, mengirimkan foto dan biodata penulis untuk kover belakang buku.

Lalu, menunggu. Biasanya, setelah tahap terakhir selesai, akan ada jeda sebulan sampai buku selesai dicetak, dan siap dijual di toko buku. Membutuhkan waktu untuk mencetak ribuan sampai puluhan ribu eksemplar buku, belum lagi proses distribusi ke seluruh toko-toko buku Nusantara. Sambil menunggu, tim promosi dan penulis bisa mengobrolkan kegiatan-kegiatan untuk memasarkan bukunya dengan maksimal.

Terkesan sederhana, namun sebenarnya rumit. Saya yakin banyak yang terlewat dari langkah-langkah yang saya tulis di atas, yang mungkin bisa diisi oleh pihak-pihak terkait yang lebih berpengalaman. Tapi, begitulah kurang lebih yang saya lewati. Proses naskah menjadi buku tergantung dari seberapa lama kita merevisi, dan banyak faktor lain. Biasanya, bagi saya memakan waktu kurang lebih enam sampai dua belas bulan.

Bayangkan satu naskah yang mengalami prosedur sedemikian banyaknya, dan kalikan dengan jumlah buku yang harus terbit dalam sebulan. Atau, ratusan buku dalam setahun, atau ratusan naskah yang menumpuk di meja editor. Wow.

Oleh karena itu, setiap buku bukanlah hasil kerja solo seorang penulis saja. Begitu banyak orang yang terlibat di dalamnya untuk menjadikan mimpi itu terwujud, begitu banyak yang berusaha keras agar satu buku bisa terpajang di etalase toko dan siap dibawa pulang oleh pembaca.

So here's to everyone involved - setiap orang dalam perannya adalah penting, dan terima kasih banyak, karena tanpa kalian, naskah hanya akan menjadi seonggok hasil cetakan printer dalam kertas polos.

Rabu, 17 Desember 2014

Suka Duka Menjadi Penulis

Setiap tahun, saya selalu menulis resolusi tahunan, membuat sedikit kilas balik dan bersiap menyongsong tahun depan. Bukan introspeksi serius, memang, dan kadang kala, saya akui resolusi yang saya buat tidak selalu terlaksana seluruhnya. Dan akhir-akhir ini, saya justru mengabaikan resolusi, dan hanya fokus pada hal-hal yang saya antisipasi di masa depan.

Tahun ini, saya tidak akan membuat resolusi muluk-muluk. Sebaliknya, saya akan menapak balik pada gundukan masa lalu yang menciptakan jalan menuju masa kini. Ini terinspirasi oleh sebuah pesan singkat yang masuk dalam inbox Facebook saya semalam, dari seorang pembaca di Bali, yang bertanya apa suka duka saya sebagai seorang penulis selama ini.

Jujur, pertanyaan itu awalnya tidak terlalu saya renungkan, karena menjawab suka dan duka selama perjalanan ini tidak dapat dirangkum dengan mudah. Namun kemudian, saya kembali berpikir tentang awal saya menulis. Rupanya, saya telah mulai aktif menulis sejak 2007, dan tahun ini merupakan tahun ketujuh saya meminjam istilah 'penulis' dalam resume hidup saya.

Saya bukan seorang penulis full time. Sebelum menjadi penulis, saya memiliki banyak peran lain - seorang anak, seorang karyawan penuh waktu, seorang jurnalis paruh waktu, seorang wirausahawati. Tahun lalu, saya mengambil peran seorang istri, dan tahun depan, seorang ibu. Saya juga sempat menjajali proofreading, dan banyak peran-peran kecil lain di luar penulis. Tapi, entah kenapa menjelma menjadi penulis adalah salah satu hal yang paling mendarahdaging dalam perjalanan karir profesional saya sejauh ini. Ya, meskipun tidak menulis sepanjang hari. Meskipun dalam setahun kadang saya tidak menelurkan karya. Walau blog ini bisa saja kosong selama sebulan penuh.

Suka duka menulis, tentu banyak. Entah bagaimana saya harus mendeskripsikan rasa, karena rasa itu rumit dan subjektif. Yang saya tahu, saya menyukai perasaan pada kala kata-kata bagaikan muncul begitu saja lewat tarian jemari pada keyboard laptop. Saya menyukai bagaimana karakter-karakter saya dengan sabar menuntun saya menuju cerita mereka, masuk ke dalamnya dan bermain di sana, sampai saatnya saya pergi. Saya menyukai rasa lega sekaligus puas yang menyusup begitu hari berakhir dengan beberapa ribu kata terketik rapi dalam file di komputer. Dan ketika naskah berubah menjadi buku, ketika kerjasama dengan editor, penata layout, pembuat kover dan proofreader menghasilkan sesuatu yang fisik dan dapat dibaca oleh orang lain, rasa itu menjadi lebih sulit untuk diterjemahkan. Pada saat-saat seperti ini, kebahagiaan yang dirasakan rasanya lebih besar dari harta materi yang bersanding dengan keberhasilan sebuah buku.

Duka - tentu saja setiap penulis memiliki porsinya akan duka, begitu pula dengan saya. Duka sederhana seperti membaca resensi buruk dari seorang pembaca yang tidak menyukai karya saya, misalnya, meskipun dalam tahun-tahun ini, saya telah belajar bahwa karya dan selera adalah subjektif - either you like it or you don't, and either way it's alright. Surat-surat penolakan naskah yang saya kumpulkan dalam folder khusus. Berbagai kesalahpahaman dari orang-orang yang belum mengerti bahwa sebuah karya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Buku-buku yang flop di pasaran dan menghilang begitu saja.

Namun, duka-duka itu rasanya kecil jika dibandingkan dengan perasaan kosong saat berhadapan dengan kursor yang berkedip dan tak bergerak di layar komputer. Bulan-bulan tanpa inspirasi, sedangkan adrenalin untuk menulis sudah terpacu. Keinginan menulis yang tak terpenuhi karena waktu yang terbatas, atau ide yang tak kunjung datang. Bagi saya, duka terbesar sebagai seorang penulis adalah ketidakmampuan untuk menulis.

Di luar itu semua, dengan pertimbangan pro dan kontra dalam menulis, jika harus memilih, apakah saya akan membuat pilihan yang sama? Ya, without a second thought. Walaupun menulis mungkin memakan setiap detik yang tersisa dalam jatah istirahat saya, meskipun menulis mungkin membuat saya begitu lelah saat selesai melakukannya dan tanpa sadar telah menghabiskan sepanjang malam... I'd pick being a writer every day of my life.

Dan itulah resolusi saya tahun depan. Dan saya harap, untuk tahun-tahun selanjutnya juga.