Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Rabu, 30 Juli 2008

Lihatlah aku apa adanya

Eksperimen cerpen yang gagal. Maklum, agak kaku karena udah lama banget gak nulis cerpen. Terinspirasi oleh Longest Night in Shanghai yang baru ditonton semalam..

“Kamu tidak pernah melihat diriku apanya.”

Kekasihku kerap berkata begitu padaku. Kala aku sedang merias wajahnya, terbenam dalam menit-menit menegangkan karena kapan saja namanya akan dipanggil, dan terlambat satu detik pun, habislah sudah. Riasannya harus sempurna. Segala sesuatu harus sempurna.

Tapi dalam kesibukanku melukis wajahnya, dia terlihat tenang. Terlampau tenang, bahkan, bagaikan patung. Dia tampak tidak sadar pada keributan di baliknya, hamparan manusia yang berlari kesana kemari, teriakan di balik layar, para stylist yang mendorong sedikit para modelnya supaya cepat tampil di catwalk, juga para pemula yang gemetaran karena belum pernah tampil sebelumnya. Dia duduk tenang sembari memperhatikan aku memulas wajahnya dengan bedak, kuasku menyentuh dan memperindahnya. Dia yang seperti dewi, sebuah bentuk seni yang tak pernah habis kutelusuri.

Sesaat sebelum jariku menekan bibirnya untuk memberi perona merah jambu, dia menghentikan gerakanku dengan sebaris kata-kata itu,

“Kamu tidak pernah melihat diriku apa adanya.”

Pandangan kami bertemu melalui kaca besar di hadapan kami. Lalu aku melirik pantulan jam di cermin. Kami tidak punya banyak waktu. Kuletakkan kedua tanganku di atas bahunya yang telanjang, meremasnya sedikit untuk menginjeksi rasa percaya diri.

“Kamu bicara apa? Lihatlah dirimu – kamu sempurna. Di mataku pun kamu sempurna.”

Kami berdua kini menatap bayangan dirinya di cermin. Aku memang tidak berbohong, dia tampak seperti bidadari dari kahyangan. Matanya yang kehijauan terlihat dingin, tapi ketika bibirnya menarik senyum, matanya menyipit, memancarkan kehangatan pada seluruh wajahnya. Kulit wajahnya bagaikan pualam, terpulas bedak berbahan dasar mineral yang memberikan tampilan natural di bawah temaram lampu catwalk. Begitu juga bagian wajahnya yang lain, alisnya melengkung sempurna, nuansa aprikot di tulang pipinya, lentik bulu matanya untuk memberikan efek dramatis. Riasannya hampir sempurna – kecuali bibirnya yang pucat, telanjang tanpa polesan gincu. Tanganku gatal ingin memperbaikinya.

“Ingatkah kau saat pertama kali kita bertemu?” Dia bertanya, matanya tidak sekali pun meninggalkan pantulan wajahnya sendiri.

Tentu saja aku ingat. Dua tahun yang lalu, kami bertemu di ruang rias untuk fashion show-nya yang pertama. Dia muncul dari balik pintu, bersembunyi di belakang manajernya yang bertubuh besar. “Ini model baru kita,” begitu kata manajernya, mengambil satu langkah ke samping supaya aku bisa melihat gadis yang dibawanya. “Kuserahkan dia kepadamu.”

Usianya saat itu tidak lebih dari delapan belas tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-belulang menonjol di balik pakaiannya yang tipis, rambut lurus sebahu dan wajah tanpa riasan. Dia tampak ketakutan, tapi perlahan-lahan kamu memberanikan diri menatap wajahku. Saat itu aku melihat kecantikan yang tersembunyi di balik matanya yang sendu. Melihat apa saja yang bisa kulakukan untuknya, dengan palet warna dan kuas yang selalu kubanggakan. Melihat masa depannya – kilat kamera, kontrak jutaan dolar, dan sebuah status. Karena aku mampu melihat segalanya untuk dia, bahkan sebelum dia sendiri menyadarinya.

“Kini aku sudah tidak bisa mengenali diriku sendiri,” dia berkata, membawaku kembali ke realita.

“Kamu tidak berubah. Nasibmu yang berubah.” Aku menyentuh bibirnya, dan kali ini dia tidak menolak ketika aku mengaplikasikan warna dengan ujung jariku. “Nah, pergilah. Tunjukkan kehebatanmu pada mereka.”

Dia memberikan seulas senyuman tipis sebelum menghilang di balik tirai, aroma parfum citrus yang dikenakannya samar tercium oleh hidungku.

**

“Aku ingin berhenti.”

Kalimat itu muncul saat dia sedang mengambil break di sela take-nya, dalam intonasi nada yang biasa, seakan sama sekali tidak takut ada wartawan yang mendengar di set pemotretan. Sesekali ia menyeruput kopi dalam gelas sterofoam yang kuberikan padanya, sambil membiarkan aku mengelap keringat dan memperbaiki riasannya.

“Berhenti?” Berhenti dirias? Berhenti modeling? Berhenti bekerja sementara? Apa?

“Aku tidak ingin begini lagi. Kau juga, ayo kita hentikan pekerjaan ini. Kita bisa berlibur ke Malawi, hidup tenang tanpa kegilaan ini..”

Dia sudah gila. “Kau sudah gila?”

Dia menggeleng. “Dunia ini tidak cocok denganku, Marko. Aku tidak suka bergaya di depan kamera, aku tidak suka tampil dengan topeng riasan ini, aku tidak suka diikuti ke mana saja aku pergi.”

“Dua tahun lagi dan kamu bisa menjadi supermodel kelas dunia,” aku memperingatkannya. “Sedikit lagi kerja keras dan kamu akan memiliki segalanya.”

Pandangannya sayu. “Aku tidak ingin memiliki segalanya, Marko.”

Aku menggeleng, tidak bisa menerima, tidak ingin memikirkan konsekuensinya. Dia ciptaanku. Dia sempurna. Dia tidak boleh membuangnya begitu saja.

**

Dia sedikit mabuk. Setengah isi botol Chardonnay yang ditenggaknya habis merusak sistemnya, membuatnya meracau sepanjang malam. Aku menopangnya dengan sebelah tangan, sebelah lagi sibuk menggesek kartu magnet untuk membuka pintu kamar. Dia berjalan sempoyongan, kepalanya bersandar di bahuku dan tangannya memeluk pinggangku.

“Hei, Marko…”

Dia menggumam. Nafasnya bau alkohol.

“Jika aku bukan lagi aku, apakah kau akan tetap mencintaiku?”

Kalimatnya tumpang-tindih dan sulit kumengerti.

“Aku akan menyerahkan surat pengunduran diri.” Dia tertawa, mengguncang-guncang tas yang dibawanya sehingga isinya berserakan keluar. “Seharusnya aku memberikannya hari ini, tapi aku takut. Aku takut… kau tidak akan mencintaiku jika aku bukan aku yang sekarang.”

Selembar amplop meluncur di sebelah kakiku. Aku memungutnya, menyobeknya menjadi dua, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Matanya membulat, air mata mengalir turun di kedua sisi wajahnya, merusak tatanan yang sudah kukerjakan selama dua jam tadi sore.

“Tidak bisakah kau mencintaiku apa adanya?”

Aku menatapnya tajam, dan dengan amarah dia menggunakan kedua tangan untuk mengacaukan riasannya, menggosok, mengusap dan meraung seperti kesetanan.

“Lihatlah diriku apa adanya!” Dia berteriak berulang-ulang, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang sambil tersedu-sedu.

Wajahnya kini adalah campuran berbagai warna, seperti sebuah lukisan abstrak yang telah dihancurkan dengan kedua tangannya sendiri. Aku memalingkan wajah, tiba-tiba saja merasa mual. Sambil berusaha menahannya, aku berlari keluar, meninggalkan kamar itu dan pintu yang bedebam tertutup di belakangku.

Dia dapat memiliki kesempurnaan, jika saja dia menginginkannya. Tapi dia telah memilih untuk merusak kesempurnaan itu dengan sesuatu yang bernama cinta.

**

Selasa, 29 Juli 2008

Prisoner of Love (Utada Hikaru)

The lyrics to Prisoner of Love, Last Friend's theme song. Teman menulis belakangan ini..


I’m a prisoner of love
Prisoner of love
Just a prisoner of love
I’m just a prisoner of love
A prisoner of love

heiki na kao de uso wo tsuite
waratte iyake ga sashite
raku bakari shiyou to shite ita

naimononedari buru-su
mina yasuragi wo motomete iru
michitariteru noni ubaiau
ai no kage wo otte iru

taikutsu na mainichi ga kyuu ni kagayakidashita
anata ga arawareta ano hi kara
kodoku demo tsurakutemo heiki da to omoeta
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love


Prisoner of love
Prisoner of love
I’m a prisoner of love

yameru toki mo sukoyaka naru toki mo
arashi no hi mo hare no hi mo tomo ni ayumou

I’m gonna tell you the truth
hitoshirezu tsurai michi wo erabu
watashi wo ouen shite kureru
anata dake wo tomo to yobu

tsuyogari ya yokubari ga muimi ni narimashita
anata ni ai sareta ano hi kara
jiyuu demo yoyuu demo hitori ja munashii wa
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

Oh mou sukoshi da yo
Don’t you give up
Oh misutenai zettai ni

zankoku na genjitsu ga futari wo hikisakeba
yori issou tsuyoku hikareau
ikura demo ikura demo ganbareru ki ga shita
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

arifureta nichijou ga kyuu ni kagayakidashita
kokoro wo ubawareta ano hi kara
kodoku demo tsurakutemo heiki da to omoeta
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

I’m a prisoner of love
Prisoner of love
Prisoner of love
I’m just a prisoner of love
I’m a prisoner of love

Stay with me, stay with me
My baby, say you love me
Stay with me, stay with me
hitori ni sasenai

————————————————————-

I’m a prisoner of love
Prisoner of love
Just a prisoner of love
I’m just a prisoner of love
A prisoner of love

With an indifferent face you tell a lie
Laughing until you feel sick
“Let’s have nothing but fun” you said

Feeling blue over desiring the impossible
Everyone is seeking tranquility
You’re struggling, but you’ve had enough
Now you’re chasing after a shadow of love

Since the day you appeared
My dull “everyday”s have begun to shine
Now I‘m able to think, “Feeling loneliness, being in pain - that’s not so bad”
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

Through painful times and healthy times,
Stormy days and sunny days, let’s walk on together

I’m gonna tell you the truth
I chose an unforeseeable painful path
and you came to support me
You’re the only one I can call a friend

Fake displays of strength and avarice have become meaningless
I’ve been in love with you since that day
When I’m free, with time to spare, there’s no life in being alone
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

Oh… Just a little more
Don’t you give up
Oh don’t ever abandon me
If the cruelty of reality tries to tear us apart
We’ll be drawn more closely to one another
Somehow, somehow, I have a feeling we’ll be able to stand firm
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

Every day banalities quickly begin to shine brilliantly
You stole my heart that day
Loneliness and pain, I thought I could deal with
I’m just a prisoner of love
Just a prisoner of love

Stay with me, stay with me
My baby, say you love me
Stay with me, stay with me
Don’t leave me alone again

Translation credits to Arisan.

Taken from flyingcrispi.wordpress.com

Minggu, 27 Juli 2008

Editing like a maniac

First editing: done
Second editing: done
Third editing based on book: done

Sigh. I no longer keep track on the counts I edit Ai. I now need to do a few things:

- Background and family history
- Last chapter
- Work on localities

I haven't watched a movie or read a book after office hours ever since I'm working on this editing. I've learnt a lot, but I hope it's done soon.

Imitation of life (REM)

Charades, pop skill
Water hyacinth, named by a poet.
Imitation of life
Like a koi in a frozen pond
Like a goldfish in a bowl
I dont want to hear you cry

Thats sugarcane that tasted good
Thats cinnamon thats hollywood
Cmon cmon no one can see you try

You want the greatest thing
The greatest thing since bread came sliced.
Youve got it all, youve got it sized.
Like a friday fashion show teenager
Freezing in the corner
Trying to look like you dont try

Thats sugarcane that tasted good.
Thats cinnamon thats hollywood
Cmon cmon no one can see you try

No one can see you cry

Thats sugarcane that tasted good
Thats freezing rain thats what you could
Cmon cmon no one can see you cry

This sugarcane
This lemonade
This hurricane, Im not afraid.
Cmon cmon no one can see me cry
This lightning storm
This tidal wave
This avalanche, Im not afraid.
Cmon cmon no one can see me cry

Thats sugarcane that tasted good
Thats who you are, thats what you could
Cmon cmon no one can see you cry

Thats sugarcane that tasted good
Thats who you are, thats what you could
Cmon cmon no one can see you cry


When I was sixteen, I used to love this song very much. Listened to it almost accidentally a few days ago, when I picked out my old Modern Rock cassette to be my editing companion :D brings back so many memories.. I especially love the lyric.

Jumat, 18 Juli 2008

Statusnya Ai

Setelah mengedit 3 hari berturut-turut dalam posisi pewe, mendadak saya terganggu oleh keinginan santai. 2 hari lalu, tergoda oleh Spotlight - yang akhirnya saya tonton duluan baru menulis lagi. Lalu kedua, film the Dark Knight. Pagi ini saya sudah rapi di meja makan, mengedit dan mengetik. Belum sampai lima belas menit, telepon berdering dan saya segera bersiap-siap untuk cabut ke mal.

Sigh. Akhir-akhir ini waktu luang tak terganggu yang super panjang agak langka :D jadi saya harus menyelipkan editing di sela waktu makan siang, atau setelah makan malam - berlanjut sampai tengah malam.

Book list bulan ini..

Karena butuh bacaan ringan yang bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dan udah lama gak beli buku Indo, maka saya pun membeli buku-buku berikut:

- Ciao, Italia - seneng ama segala sesuatu berbau Eropa :P
- Orange - karya teman saya Windry, yang sejak dulu pengen saya koleksi
- Divortiare - novel terbaru Ika yang covernya seru
- Love, Hate and Hocus Pocus - karena saya selalu mengoleksi bukunya Karla
- Circa - juga karena saya selalu membaca karya Sitta

:) phew. bokek deh :)

Rabu, 16 Juli 2008

My shopping basket...

Yay my DVDs arrive on the mail today! It contains:

- Penelope: can't wait to watch James McAvoy in this chick flick. Plus, I adore fairy tales.
- Princess Diaries 2: I like all Princess Diaries series (not the books, but the movies)
- Spotlight 1-16 episodes: yay! I adore Son Ye Jin and this is her latest series. It also features Ji Jin Hee, whom I like in Dae Jang Geum :)

Red Cliff - the main characters

Posters for each main character in Red Cliff, along with a Chinese word to symbolize their character. (not in order)

Gan Ning, a warrior that belongs to Sun Quan's army. Brave and disciplined - he trains his soldiers well. The character on his poster symbolizes courage.


Xiao Qiao, the most beautiful woman in China, the object of affection of both Zhao Yu and Cao Cao. She weds Zhao Yu and loves him passionately, though. Lin Zhi Ling plays a graceful Xiao Qiao, elegant and graceful but also has a flirty side.


Lady Sun's brother, Sun Quan, who is intelligent but has been hiding in the shadows for too long. He is quiet but is actually a good leader.




Cao Cao. Cruel, full of ambitions, but also lacking good warriors that are trustworthy. He is in love with Lady Xiao Qiao - obsessing over war for the sake of this woman. Ken Watanabe was supposed to be cast for Cao Cao, but people protest for a Chinese cast.

One of my favorite characters, Lady Sun, portrayed by Zhao Wei. I wish her character is given more depth (such as participating more in war strategies and inputs). Lady Sun is an independent tomboyish sister of Sun Quan. She is to be wed to Liu Bei to strengthen ties between two allies.

I like it whenever she inserts humor to the movie. And my favorite part is when Zhu Ge Liang tells her, "You have exceptional talents but you hide them. You are unique, and unique people are most misunderstood."



Not supposed to be the main character, but since Tony Leung is playing Zhao Yu, it is a very outstanding main character. Fierce, smart and a music maniac who understands war strategies.


The character for Zhu Ge Liang symbolizes knowledge. He's supposedly calm, intelligent, and not the type to rush things. Takeshi Kaneshiro makes a great young Zhu Ge Liang, but sometimes his expression is innocent instead of knowledgeable.


Zhao Zi Long - the brave warrior that saved Liu Bei's wife Lady Gan and son (although in the movie, Lady Gan committed suicide to save her son. I think Hu Jun is a better fit for Zhao Yun than Andy Lau (no offense, I like Andy and all but I think Hu Jun's great as Zhao Yun).


Selasa, 15 Juli 2008

Editing, editing

Change of scenery might do me good. I am now almost always sitting on the dining table with my laptop on, my printed unedited draft sitting on my right, my comfort food and water bottle on my left. Plus my earphones to plug off any noise that would disrupt my writing. Music on all the time, ranging from mild instrumental to pop, old rock and soundtracks.

Finished editing Sei's part, 2/3 of the novel. Now Ai's part to go.. the hardest of two :)

I wonder what I should write about..

Senin, 14 Juli 2008

Ai, yang perlu editing

Kamis malam, saya dapat telepon dari salah satu penerbit yang sudah diincar sejak tahun lalu. Akhir-akhir ini suka deg-degan kalau dapat telepon dari penerbit. Dan katanya, mereka sudah membaca (dan menyukai) naskah novel Ai yang saya kirim bulan lalu. Good news, right?

Tapi mereka ingin saya menambah lokalitas khas Indonesia ke novel tersebut.

I'm open to suggestions, editing and all.. walau saya personally menulis Ai karena ingin menonjolkan sisi Jepang yang jarang dieksplor di sini. Dan akhirnya, saya pun memutuskan untuk mengedit naskah tersebut.

Tapi masih bingung bagian mana aja yang harus diedit supaya lebih 'lokal'. Any suggestions?

Oh ya, bagi yang belum baca, Ai adalah novel kedua saya yang bercerita tentang dua orang sahabat - Ai dan Sei, dan menyentuh sisi-sisi seperti persahabatan, kematian, dan lain-lain. A little dark but not too gloomy.

Sekarang saya baru menambahkan beberapa chapter ekstra, juga mengedit beberapa bagian. Sisanya, saya masih stuck. Hope I'll unwind soon.

Sabtu, 12 Juli 2008

Koleksi buku..

Koleksi buku saya sudah memenuhi satu kamar. Di rak-rak khusus, buku-buku dijejerkan dalam barisan rapi sesuai nama pengarang, lalu dibariskan lagi di depannya, lalu di atasnya, dan sisanya ditumpuk di mana ada tempat yang memungkinkan. Tempat CD dikosongkan, kaset-kaset dan cakram lagu lama disisihkan ke dalam lemari supaya buku-buku bisa muat di sana. Lalu di balik radio, majalah, draft dan buku ditumpukkan seadanya.

Di kolong meja rias, sebuah kotak plastik raksasa memuat buku-buku dan ensiklopedia besar. Ketika sudah kepenuhan, buku-buku lain pun ditumpuk di atasnya. Juga di atas meja masih ada buku-buku yang belum terbaca. Komik ada di paling ujung, tumpah ruah entah bagaimana harus mengambil salah satunya.

Hmmmm. Dan masih saja saya terus membeli buku, mengoleksinya, menjualnya kembali untuk mendaur ulang uangnya untuk buku baru. I can't get enough of books.