Halo semuanya, Desember ini datang dengan kabar baik, novel terbaruku Happily Ever After akan terbit.
Launch resminya tanggal 13 Desember 2014 di Kumpul Penulis Pembaca Gagas Media, dan masuk ke toko buku menyusul, tergantung distribusi ke toko buku di masing-masing kota.
Berikut aku share kover, sinopsis dan sneak peek isi novelnya.
Sinopsis
Tak ada yang kekal di dunia ini.Namun, perempuan itu percaya, kenangannya, akan tetap hidup dan ia akan terus melangkah ke depan dengan berani.
Ini adalah kisah tentang orang favoritku di dunia.
Dia yang penuh tawa. Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi memiliki sentuhan sehangat sinar matahari. Dia yang merupakan perpaduan aroma sengatan matahari dan embun pagi. Dia yang mengenalkanku pada dongeng-dongen sebelum tidur setiap malam. Dia yang akhirnya membuatku tersadar, tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Ini juga kisah aku dengan anak lelaki yang bermain tetris di bawah ranjang. Dia yang ke mana-mana membawa kamera polaroid, menangkap tawa di antara kesedihan yang muram. Dia yang terpaksa melepaskan mimpinya, tetapi masih berani untuk memiliki harapan ...
Keduanya menyadarkanku bahwa hidup adalah sebuah hak yang istimewa. Bahwa kita perlu menjalaninya sebaik mungkin meski harapan hampir padam.
Tidak semua dongeng berakhir bahagia. Namun, barangkali kita memang harus cukup berani memilih; bagaimana akhir yang kita inginkan. Dan, percaya bahwa akhir bahagia memang ada meskipun tidak seperti yang kita duga.
Sneak Peek
“Ada suatu tempat yang mau kutunjukkan,” katanya. “Ayo.”
Aku mengikutinya ke sebuah koridor yang menjembatani gedung pertama dan gedung kedua, melewati kafeteria yang kosong dan aula yang dipadati dengan kursi-kursi aluminium yang tak satu pun melenceng dari tempatnya, lalu berhenti di depan sebuah pintu.
Eli menarik napas dalam-dalam, kemudian memantapkan genggamannya pada gagang pintu, dan menekannya hingga terbuka. Pintu itu tak terkunci.
“Selamat datang di rumah keduaku.”
Rumah keduanya adalah sebuah kolam renang dengan ukuran Olimpiade. Air jernih, lantai keramik berwarna biru, aroma klorin. Langit-langitnya setinggi dua lantai, dengan jendela kaca besar di lantai dua, sehingga setiap orang yang melintas dapat melihat jelas ke dalam. Jelas terlihat kolam renang itu seringkali dijadikan stadium untuk pertandingan. Instalasi lampu sorot terpasang di beberapa sudut pada langit-langit. Garis-garis biru tua membagi area kolam renang, mengindikasikan garis batas setiap perenang. Kursi-kursi panjang untuk penonton berjejer di tepi kolam, dengan koridor yang sepertinya mengarah ke loker dan ruang ganti.
Singkat kata, ini luar biasa.
Eli terlihat nyaman di sini, dalam teritorinya. Dia mengenal setiap sudut, mengetahui area-area licin yang perlu dihindari. Tanpa kata-kata, dia menggandeng tanganku dan membimbingku menuju tepi kolam. Aku menyaksikannya menggulung ujung celana, kemudian melakukan hal yang sama.
Kami duduk di pinggir, bertelanjang kaki, membiarkan air yang dingin meriak sebatas lutut. Eli menerangkan ini itu mengenai renang, menggunakan berbagai terminologi yang tak kupahami. Tapi menyenangkan melihat dia begitu bersemangat menceritakan sesuatu yang jelas merupakan hal yang dicintainya, lebih dari apa pun.
“Setiap kali marah, sedih, kesal… air adalah pelarianku. Kalau berada di dalam air, rasanya setiap masalah pasti memudar begitu aja. Kata Mama, waktu kecil, setiap kali masuk bak mandi, yang kulakukan adalah menepak-nepak air, seperti mau berenang.” Dia tersenyum mengenang ingatan masa kecil tersebut. “Akhirnya, waktu SD Mama mendaftarkanku masuk kelas renang, bersama dengan Mel. Sejak saat itu, aku nggak pernah lepas dari air.”
Menurut Eli, jadwalnya sangat padat; setiap Selasa dan Sabtu subuh, drill dan warmup, disusul 8x50 meter sesi gaya punggung, 8x45 meter sesi gaya kupu-kupu, diselingi 180 meter kombinasi gaya, total 2500 meter. Rabu dan Jumat diisi dengan resistance training dan stretching. Kamis siang latihankick, drill, pull, disertai renang gaya bebas.
“Kami latihan berjam-jam tiap harinya,” terang Eli. “Pelatih kami – Coach Andrews – didatangkan khusus dari Amerika. Anggota timnya seringkali menang minimal medali perak di Olimpiade. Walau kadang terlintas rasa capek, kami berlatih untuk nggak ngerasain itu. Buat kami, capek cuma kondisi tubuh, sedangkan kondisi otak dan pikiran harus selalu prima, terlatih untuk menang. Untuk tim kami, hanya ada satu tujuan yang harus jadi fokus.”
Dengan suara yang lebih lirih, ia menambahkan, “dan buat aku, inilah seluruh hidupku.”
Air ini, sama seperti arti kayu dan pondasi untuk Ayah, adalah segalanya bagi Eli. Mereka harus merelakan hal yang paling mereka sukai untuk melawan sesuatu yang lain, untuk bertahan hidup. Hal-hal yang berharga terenggut begitu saja, tak peduli berapa tahun, darah dan keringat yang telah diteteskan.
“Dua bulan, Lu. Cuma butuh dua bulan, sampai kandidat peserta Olimpiade terpilih, dan training intensif dimulai. Selangkah lagi, aku udah begitu dekat dengan tujuan. Tapi, mungkin hidup punya rencana yang lain buat aku. Buat kita semua.”
“Kamu pernah nyesel, nggak?”
Dia menampung air dengan tangkupan tangannya, perlahan-lahan membiarkan air mengalir turun. “Marah, tentu aja pernah. Kecewa, putus asa, juga pernah. Pertama kali didiagnosa, aku nggak mau makan selama seminggu. Di awal-awal kemoterapi pun, aku sempat depresi berat. Mama sampai nangis karena udah nggak bisa bujuk aku. Kubilang, buat apa makan, kalau toh akhirnya nanti bakalan mati juga? Mendingan mati sekarang daripada nunggu-nunggu lagi. Tapi Mia bikin aku sadar, itu bukan perkataan yang pantes buat diucapin ke orang yang sayang sama kita. Mereka selalu percaya dan punya harapan aku akan sembuh. Lalu, kenapa aku nggak bisa berbagi harapan yang sama? Kenapa harus menyerah sama keadaan?”
“Maaf, Eli.”
Eli menatapku bingung. “Maaf buat apa?”
“Karena aku nggak pernah coba untuk melihat segala sesuatu dari sisi pandang kamu. Selagi kamu menghadapi kemoterapi, radioterapi, dan rasa sakit, aku malah sibuk mikirin ujian mendadak, PR yang belum kelar, hal-hal nggak penting kayak gitu. Aku merasa, aku belum jadi teman yang cukup baik buat kamu.”
Dia terkekeh. “Setiap orang pasti punya masalah masing-masing, begitu juga kamu. Ayahmu, Karin, Ezra, orang-orang yang ngeganggu kamu di sekolah…”
Aku baru saja ingin menyela, tapi Eli langsung membungkamnya.
“Aku sering lihat buku pelajaran kamu yang dicoret-coret, Lu. Tas kamu yang kadang basah. Barang-barang kamu yang rusak. Gelagat kamu kalau ngomongin sekolah. Aku pengin kamu tahu, kamu bisa cerita apa aja sama aku. Nggak perlu ada yang ditutupin, sesulit apa pun itu.”
Awalnya, hal itu bermula dari teman-teman sekelas yang berkelompok menjauhiku. Kemudian, ungkapan-ungkapan verbal itu dimulai. Penyihir, goth, Lucifer. Aku sempat berpikir, mengubah penampilanku mungkin akan membuat mereka menyukaiku, maka aku pun berusaha tampil senormal mungkin, seperti mereka. Tapi cemooh itu tak pernah berhenti.
Lama-kelamaan, cercaan berubah menjadi dorongan. Dorongan berkembang menjadi jengkatan kaki saat aku tak melihat, barang-barang yang dirusak, telur busuk atau jasad binatang yang ditinggalkan dalam tas. Dan ketika Karin menjadi salah satu dari mereka, kupikir segala sesuatunya akan membaik – tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
“Pertama kali Bunda nemuin coretan-coretan itu di buku sekolahku, beliau langsung menghubungi kepala sekolah.” Untuk pertama kalinya, aku melihat ibuku yang pendiam marah besar karena sesuatu. Orang-orang yang sayang sama kamu akan melakukan apa saja untuk melindungi kamu, itu ucap Ayah saat itu.
Untuk sementara, hari-hariku berubah tenang. Kepala sekolah dan guru-guru telah diperingatkan, organisasi sekolah membentuk kampanye anti-penindasan, tapi semua itu tak bertahan lama. Bahkan, kedua orang tuaku sempat berpikir untuk mendaftarkanku ke SMP yang berbeda, tapi…
“Aku sadar kalau di lingkungan mana pun, kita akan selalu ketemu dengan orang-orang yang berbeda. Mereka bisa suka, atau benci sama kita.”
Pindah sekolah mungkin merupakan salah satu solusi, tapi buatku melarikan diri tak pernah menyelesaikan apa-apa. Lagipula, biaya sekolahku bukan angka yang kecil. Apalagi sekarang, dengan timbulnya pengeluaran untuk pengobatan dan perawatan Ayah, kami sekeluarga perlu mengencangkan ikat pinggang. Saat itulah aku memutuskan, apa pun yang mereka lakukan dan katakan tidak akan dapat mengubahku. Aku ingin menjadi diriku sendiri, dan untuk itu aku tak memerlukan ijin mereka.
Eli memandangku lekat-lekat. “Kadang aku kagum sama kamu, Lu. Kamu kayak prajurit perang, maju terus meskipun nggak punya senjata lengkap.”
Aku tertawa mendengar metaforanya. “Kamu sendiri, maju terus walau nggak tahu bakalan menang atau kalah, kan?” Bukannya itu yang justru luar biasa?
“Itu benar, aku memang luar biasa.” Eli menertawakan kelakarnya sendiri, lalu mulai menciprati air ke arahku dengan kaki kanannya, membuatku membalas, tak mau kalah. Selanjutnya yang kutahu, kami saling menciprati dengan ganas, tanpa ampun, seperti dua anak kecil yang baru pertama kali bermain air.
“Stop! Stop! Nyerah!” Aku mengangkat kedua tangan untuk menutupi wajahku, yang kini basah kuyup. Poniku menjuntai menutupi kening, dan aku yakin maskara hitamku pasti sudah luntur. Tapi aku tak peduli.
Eli terbahak-bahak sambil terus menciprati air. “Besok Coach Andrews pasti mencak-mencak, kolam Olimpiade-nya kayak habis kena angin topan. Aaah, coba aku bisa lihat muka marahnya sekali lagi. Urat-uratnya sampai nongol ke ubun-ubun.”
Seolah ingin membuktikan kerinduannya, Eli bangkit berdiri, berlari kecil ke ruang loker, kemudian kembali dengan mengenakan sepasang celana renang warna biru. Aku melihatnya sebagaimana dirinya sekarang untuk pertama kalinya – kurus, dengan tulang rusuk yang menonjol, lengan dan betis yang tak lagi berotot, wajah tirus yang terlihat lelah. Sekujur lengannya membiru, bekas suntikan obat-obatan yang digunakan untuk melawan tumor di otaknya.
Dia mungkin bukan Eliott Gustira yang dulu, tapi di mataku, dia yang sekarang luar biasa.
**