Guys! Here's an excerpt from the upcoming novel Truth or Dare by me and Yoana Dianika :) enjoy! Bukunya sendiri akan terbit akhir Mei 2012. Hope you love it, fingers crossed.
Sepulang sekolah, kami menyusuri pantai seperti biasa, menggiring sepeda dan berjalan lambat-lambat sambil menikmati semilir angin permulaan musim dingin yang sejuk. Laut selalu terlihat lebih gelap di musim dingin. Cat tak banyak bicara sejak tadi dan lebih sering larut dalam pikirannya sendiri, which is so unlike her.
Tiba-tiba dia angkat bicara, “Al, I’m sorry.”
Aku berhenti, tidak mengerti apa maksudnya. “Untuk apa?”
Akhirnya, Cat mengangkat muka. Ia menghela nafas sekali. “Belakangan ini, aku merasa sangat aneh. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi aku nggak tahu dari mana harus memulai. Kau mengerti maksudku, kan? Jadi, maaf kalau aku terkesan menjauhimu. Aku nggak bermaksud begitu.”
Aku tahu inilah caranya mengatakan dia merindukanku. Aku tersenyum, tersentuh mendengar pengakuannya.
“Hei Cat,” aku berkata lirih, ”is there something else you aren’t telling me?”
Dia tak segera menjawab. Aku dapat melihat dilema dalam ekspresinya; di satu sisi, dia tampak ingin menumpahkan segalanya padaku, di sisi lain dia sepertinya berusaha sebisa mungkin untuk menahan apa pun itu yang ada dalam pikirannya.
“Ayolah, aku kan sahabatmu,” aku bergurau, berusaha meringankan suasana. “Aku sudah pernah melihatmu menari dengan gaya konyol, juga mengeluarkan permen dari hidung.” Itu benar, Cat pernah melakukannya dan membuatku bersumpah untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun.
Seulas senyum kecil muncul di wajah Cat.
Aku memutuskan untuk menebak lagi. “Ini tentang Julian, kan?”
Aku tahu, lambat-laun subjek ini akan muncul dalam percakapan kami. Aku pun tahu, Cat dan Julian punya perasaan khusus untuk satu sama lain. Sejujurnya, aku bahkan sudah merasakannya sejak pertama kali kami bertemu di kelas Sejarah, sejak detik pertama dia menarik kursi untuk duduk bersama kami, dan pandangan mata mereka bertaut. Aku tahu perasaan Cat saat dia menanyakan pendapatku mengenai Julian, dan bagaimana perasaannya terbalas saat Julian masuk ke toko rental video sambil membawa es krim kesukaan Cat. Dan perasaan itu semakin jelas dari hari ke hari; aku dapat melihatnya dari cara mereka berinteraksi, saat mereka tertawa seolah hanya mereka berdua yang berbagi momen tersebut, tanpa aku di dalamnya.
Aku mungkin naif, tapi aku tidak pernah menyangkal chemistry di antara Cat dan Julian. They belong together. Dan aku sadar, lebih dari apa pun, apa tepatnya yang membuat mereka tetap menjaga jarak. Mereka memikirkan aku, dan tanpa dipungkiri lagi, akulah yang memang sudah berdiri di antara mereka sejak awal.
“Cat, kamu masih ingat cerita mengenai si kakek yang enggan memotong dahan pohon jeruk?”
Cerita ini sering dikisahkan oleh Pastor Stevens saat kami kecil. Seorang kakek yang menanam pohon jeruk di kebunnya bersikeras membiarkan pohonnya terus tumbuh, tanpa memotong dahan dan dedaunan yang mulai rimbun. Menurutnya, dengan demikian pohonnya akan terus berbuah, sedangkan memotongnya akan membuat penantiannya lebih lama. Padahal, dahan yang berlebihan justru akan menghambat pertumbuhan pohon, dan pada akhirnya membuatnya mati. Don’t ever miss the bigger picture, Pastor Stevens selalu berkata. Jangan karena takut akan sesuatu, kita tidak jadi meraih apa yang penting. Sampai sekarang, cerita itu masih membekas di benakku.
Cat menyelipkan sehelai rambut di balik telinganya, kembali tersenyum kecil. “Yeah, aku ingat. Tapi Al, aku masih belum yakin. I mean, is this even real? Perasaan ingin menyentuh seseorang, ingin selalu bersamanya, detak jantung yang mendadak nggak beraturan saat dia ada di dekatmu.. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya, dan aku hanya ingin memastikan semuanya nyata sebelum aku melakukan sesuatu yang bodoh.”
“Jatuh cinta itu nggak bodoh, Cat.”
Kali ini, ekspresi Cat berubah. “Jatuh cinta?” ulangnya, tak yakin.
Aku tertawa. “Iya, rasa yang kau jelaskan barusan. Untuk seseorang yang sangat pintar, hari ini kau sungguh bodoh,” godaku. Dia memukul lenganku main-main, tapi ikut terkekeh.
“Sejak kapan kau jadi bijaksana begini, eh?”
“Aku mungkin bodoh, tapi nggak sedangkal itu,” balasku. “Sebenarnya, apa sih yang kau takutkan?”
Dia menghela nafas. “I don’t know, Al. Aku nggak mau kami berhenti berteman hanya karena perasaan-perasaan sesaat. Aku juga nggak mau kau merasa risih, lalu menjauhi kami.”
“Tell me something. Kamu menyukai Julian, kan?” Aku menunggu responnya, melihat Cat berusaha memahami emosi-emosi dalam dirinya, mencari satu jawaban yang dapat menjelaskan perasaan yang ada dalam hatinya. Untuk sekali ini, aku membutuhkan jawaban yang jujur darinya.
Setelah terdiam cukup lama, Cat akhirnya menjawab, “Aku sangat menyukainya.”
Aku tersenyum, walau kurasakan air mata mulai menggenang di sudut-sudut mataku. Aku harus melakukan ini untuk Cat, dan untuk diriku sendiri. Aku harus melakukannya sebelum terlambat, sebelum aku menyesalinya, sebelum aku kehilangan keberanian.
“Cat. Truth or dare?”
Untuk sesaat dia terlihat bingung, tapi kemudian dia mengerti dan menjawab mantap, “Dare.”
Tanpa melepaskan pandangan dari wajahnya, aku memintanya melakukan sesuatu. “Temui Julian, dan beritahu dia tentang perasaanmu yang sesungguhnya.” Please, Cat. Jangan sesali ini.
Dia memandangku lama, seolah sedang mencari sesuatu dalam diriku yang masih membuatnya ragu. “Are you really okay with this, Al? Karena aku nggak akan melakukannya kalau kau nggak baik-baik saja.”
Aku menyayangi Julian, but I love you more, Cat. Always have, always will. Karena itulah aku mengangguk, memberikan jawaban yang dibutuhkannya. Cat menggenggam tanganku dan meremasnya sekali, kemudian melepaskannya dan berbalik pergi. Awalnya, dia berjalan dengan langkah panjang, tapi lalu ia mulai berlari, seakan tak ingin kehilangan satu menit pun. Aku memandangnya pergi, kemudian berbalik arah dan berjalan pulang tanpa menoleh ke belakang lagi.
**
4 komentar:
so excited kak! xD
:) thanks!
Aku suka sekali cara penulisan kakak, aku punya lengkap smua novel kakak :.>
Nice ^^ *masuk list belanja* ^o^
Posting Komentar