Hari itu, kami pergi ke tempat selain kedai buku tua di pinggir jalan.
Hari itu, kami kehujanan.
Mo menyambar tanganku yang terbungkus jaket hitam – jaket lusuh almamaterku, lalu menarikku mengikuti langkahnya yang tergesa. “Cepat!” desisnya, dan sambil menangkupi kepala dengan kedua tangan, kami berdua berlari mencari tempat berteduh.
Padahal, kami bisa saja memasuki kedai buku tua, yang hanya beberapa langkah menuju arah yang berlawanan. Padahal, kami bisa saja berdiri menunggu hujan reda dari balik genting warung yang separuh kosong di tikungan jalan.
Tetapi, Mo membawaku menuju halte bus, dan ketika menemukan satu bus yang kebetulan lewat, tanpa banyak omong ia mengajakku masuk. Kami berdua berdesakan menuju dua kursi kosong di belakang, dan sambil mengibaskan pakaian serta tas yang basah, dia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar.
“Kita mau ke mana?”
Dia mengangkat bahu. Ternyata, dia juga tak sempat melihat jurusan yang tertulis di punggung bus. “Bukankah ada sesuatu yang menyenangkan dari bepergian tanpa tahu harus ke mana?”
Antusiasmenya mau tak mau menular padaku, membuat pundakku rileks. Aku menyandarkan badan pada kursi. “Yaah... aku hanya nggak suka perasaan tersesat.” Tersesat di jalan saat sedang mengantar dokumen penting untuk klien, nyasar saat mencari alamat teman lama yang mendadak ingin mengembalikan barang, perasaan kacau yang timbul kala kebingungan. Tersesat dalam hidup adalah pengalaman yang serupa.
“Setiap petualangan hebat dimulai dari tersesat, lho,” sambungnya riang. Dia menawarkan selembar tisu yang sudah hampir seluruhnya basah, namun aku menerimanya tanpa banyak komentar. “Aku menemukan toko buku kita pun karena tersesat.”
Toko buku kita. Aneh, untuk dua orang yang hampir tak saling mengenal, tak berbagi apa pun kecuali sebuah tempat kecil di tepi jalan. Tapi aku menyukai penggunaan kata kita dalam kalimatnya. Rasanya seperti mempunyai rahasia.
“Oh, ya?”
Dia mengangguk. “Aku salah menaiki bus. Dibawa keliling Jakarta. Uang kecilku habis untuk pengamen yang tak henti-hentinya menyanyikan lagu kesukaanku.” Dia terkekeh. “Dan aku berhenti di pinggir jalan itu, nggak sengaja tertarik dengan buku-buku yang dipajang di depan toko. Buku pertama yang kubeli di sana adalah The Wind-Up Bird Chronicle. Judulnya aneh, untuk buku yang aneh juga.”
Semua ini aneh, aku ingin menambahkan.
“Mo?”
“Ya?” Dia menjawab tanpa menoleh, asyik menatap guliran gerimis di permukaan kaca jendela yang kotor.
“Kamu pernah merasa sedih?” Sedih yang benar-benar sedih, seperti ditonjok dan kaurasakan pukulan itu sampai ke ulu hati. Rasa yang tak kunjung punah, berlama-lama sampai kau terbiasa hidup dengan pahit itu.
Dia malah tertawa, mengkontradiksi jawabannya sendiri. “Tentu saja pernah.”
“Benar?”
Seseorang pernah berkata padaku, ia membenci orang-orang yang selalu tampak bahagia. Orang-orang yang selalu berkata, semuanya akan baik-baik saja! Jangan khawatir! Teruslah berharap! Menurutnya, orang-orang itu hipokrit. Mengapa harus tertawa saat merasakan sakit? Mengapa tidak melengos, membuang muka, memasang tampang kesal, seperti seharusnya?
Saat itu, aku tak punya jawabannya.
Tapi Mo punya.
Dia kini termenung, memainkan ujung jemarinya pada kiasan embun, membentuk uliran yang tak kupahami. Lama dia melakukannya, sampai bus tiba-tiba berhenti dan sopirnya memaki dengan kata-kata kotor.
“Sedih itu ya, sama saja seperti perasaan yang lain. Lama atau tidaknya ia tinggal, tergantung pilihan kita.”
Aku menoleh, menatapnya yang kini sibuk mendekap tas di pangkuannya erat-erat dengan pandangan menerawang.
“Sedih buat setiap orang juga beda-beda, iya kan? Sedih versiku adalah menenggelamkan diri dalam film komedi demi film komedi, bukannya tertawa malah tersedu-sedu. Makan mi instan berhari-hari, hidup dalam timbunan sampah karena terlalu malas untuk bergerak. Tapi lalu ada jenis-jenis sedih yang lain. Jenis sedih yang muncul saat melewati padang bunga matahari, begitu indahnya sampai terharu, tapi ada sebersit sedih di balik bahagia itu. Melihat pelangi pertama sehabis hujan berkepanjangan di bulan Desember, tapi berharap dapat berbaginya dengan seseorang yang tidak ada di sana. Tertidur nyenyak setelah seharian bekerja keras, tapi terbangun dan merasa ada sesuatu yang hilang. Begitu setiap hari, kebahagiaan yang bercampur dengan rasa itu, apa pun yang kauperbuat.”
Aku termenung, memikirkan jawabannya. Mungkin aku salah. Mungkin dia mengerti – hanya saja, jenis kesedihan yang lain.
“Kamu sendiri, pasti punya kesedihanmu sendiri, bukan?” Dia bertanya dengan kerlingan penuh pengertian dalam binar matanya.
Untuk sesaat, yang dapat kulakukan hanya menatapnya, hati-hati agar wajahku tak menampakkan emosi apa pun, namun kutahu usaha itu gagal tanpa ampun. Mo sepertinya dapat memahami setiap pikiran yang terbersit, karena senyumnya memudar, dan di dalam bus itu, di dua tempat duduk di sudut, di tengah hujan dan pikiran kami sendiri, dia menyentuh tanganku.
Sejurus kemudian, mendadak bus berhenti dan kenek meneriakkan nama perhentian terakhir, dan momen itu lepas begitu saja.
**