Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Senin, 15 September 2008

Pachebel Canon

Selena berarti bulan, sekeping sabit perak yang memantulkan sinar surya. Bayangan itu yang terus terpantul dalam benakku ketika melihatnya bermain. Seorang gadis remaja dengan rambut halus membingkai wajah, sebuah biola kayu ukir yang kebesaran dalam pegangannya, jari-jari mungil yang sebisa mungkin menggenggamnya dan memberikan hidup kepada benda yang dipercayainya.

Setiap kali Selena memainkan biolanya, aku selalu merasa hujan sedang merintik dalam ruangan, walaupun cuaca sedang panas-panasnya di luar sana. Derit pada senarnya patah-patah, tidak mengalun lembut seperti seharusnya, menandakan hitungan bulan yang dihabiskannya untuk menguasai alat musik itu. Namun yang membuatku terpaku adalah raut wajahnya yang tenang, cenderung tanpa ekspresi, ketika dia memejamkan mata dan memainkan bait-bait yang masih asing bagi nalarnya. Setelah dia menyelesaikan lagunya, kedua matanya tetap tertutup, seakan merasakan melodi syahdu yang masih tertinggal, lalu seulas senyum perlahan muncul. Ketika dia membuka mata, aku baru sadar aku telah menahan nafas.

“Biola ini adalah hidupku, Yan.”

Tentu saja aku mengerti. Bagaimana pun, biola pun pernah menjadi hidupku. Biola itu adalah hidup matinya. Tanpa biola itu, mungkin dia tidak akan mampu melewati hari-harinya. Dua orang pelayan yang keluar masuk memastikan makanannya telah tertelan, sebuah kotak pil yang tak pernah kosong dengan butiran tablet seputih kapur, juga demam panas yang membuatnya mengigau setiap malam. Belum lagi ketakutan akan ajal yang menjelang. Mungkinkah dia mencoba menghalaunya dengan musik? Ataukah musik menjadi sebuah ajang pelarian diri, pencapaian damai untuk memaafkan diri sendiri? Aku tidak tahu. Tidak perlu ada alasan bagi seseorang untuk mencintai sesuatu.

“Bunyi biola ini mungkin terdengar begitu buruk di telingamu,” dia tertawa kepadaku malam itu, saat tubuhnya terlalu lemah untuk bangkit dari tempat tidur. “Tapi bagiku suaranya lebih indah dari apa pun.”

Aku ingin berbohong dengan mengungkapkan persetujuanku, tapi berubah pikiran ketika melihat senyum tipis di wajahnya. “Permainan biolamu mengingatkanku akan gerimis.” Begitu aku berkata. Lebih baik, bukan seutuhnya kebohongan, tanpa mengusulkan konotasi apa pun.

Matanya membulat. “Gerimis itu sendu.”

“Ya.”

Dia menggeleng. “Apakah laguku terdengar sendu bagimu? Jangan biarkan kesedihan mempengaruhi pengamatanmu. Kamu kan seorang maestro.”

Aku memberikan segelintir senyum pahit sebagai balasannya.

Dan Selena pun terus memainkan lagu yang sama, berulang-ulang setiap malamnya. Lagu itu bagaikan antidot, penawar racun yang lebih ampuh dari obat pereda sakit, setiap kali tubuhnya mengkhianatinya. Pachebel Canon – lagu favoritku yang biasa dimainkan oleh Bach, kini menjadi milik Selena sejak partisi itu menjadi miliknya.

Ada saatnya biola tidak dapat mengenyahkan kekuatirannya.

“Aku akan segera mati. Iya kan?” Dia mengalihkan pandangannya, tidak ingin membiarkanku melihat ketakutan di sana. “Tapi benda-benda di sekitarku tidak akan mati. Kadang aku iri pada mereka, Yan. Mereka hidup selamanya. Walaupun pecah, partikel-partikelnya akan terus hidup sampai musnah dengan sendirinya.”

“Tapi mereka tidak pernah merasakan hidup, Selena.”

Dia tersenyum pahit. “Adil, bukan? Supaya sesuatu tidak pernah mati, dia tidak perlu hidup. Sedangkan yang hidup, suatu saat akan berakhir.”

Mungkin demam tinggi yang menyebabkannya meracau seperti itu, tapi aku mengerti apa maksudnya.

“Yan, kalau mendengar suara biola, ingatlah padaku, ya?”

Aku mengangguk dan berjanji. “Tentu saja tidak, lagu itu yang mengisi kepalaku setiap malamnya.”

Dia tersenyum dan menutup mata. “Aku lelah, Yan.”

Aku mengangguk sekali lagi, merasakan genggaman tangannya yang mendingin dalam jemariku.

“Mainkan lagu itu untukku.”

Selama bertahun-tahun aku berhenti menyentuh benda itu, sejak aku kehilangan nyawa musikku bersama konser yang gagal. Aku sudah lama tidak memainkan lagu itu, dari awal hingga akhir, tanpa berhenti karena harus menganalisa permainanku dan mengkritik penampilan yang buruk. Sudah lama aku tidak bermain, karena aku tahu aku selalu gagal.

“Sekali saja. Kamu berhutang satu lagu padaku.”

Dengan ragu aku mengulurkan tangan untuk meraih biola itu dari sisi tempat tidurnya, mengambil nafas panjang dan membiarkan sebentuk perasaan puas merasuki diriku ketika aku menyentuh lekuk kayunya yang solid, senarnya yang lentur, busurnya yang kuat.

Malam itu aku memainkannya, Pachebel Canon yang sempurna.

Ketika pandangannya berubah sayu dan dia memejamkan mata, aku pun melakukan hal yang sama. Merasakan rinai gerimis mengetuk-ngetuk, dan riuh-rendah tepukan tangan seorang gadis, dari kejauhan.

**

Tidak ada komentar: