Dalam kisah putri duyung karya Andersen, pada akhirnya sang putri yang telah berubah menjadi manusia terpaksa menjadi buih demi kebahagiaan pangerannya. Ending yang tidak bahagia, walau dia diubah menjadi salah satu dari jiwa-jiwa yang mengambang di udara, sebagai karma atas kebaikan hatinya.
Pagi tadi, tiba-tiba saya ingin tahu... itu kan cuma ending sementara saja, ending dari sepotong kisah hidup. Bagaimana kalau suatu hari nanti sang pangeran tahu bahwa putri yang dinikahinya bukanlah penyelamat hidupnya, tapi hanya seorang gadis yang kebetulan lewat di pantai tempatnya terdampar? Apakah sang putri akan bungkam seumur hidup bahwa dia bukanlah putri duyung yang berenang untuk menyelamatkan pangeran dari maut di laut sana? Apakah pernikahan mereka bahagia? Apakah sang putri duyung masih memikirkan pangerannya, nun jauh di sana?
Setiap cerita - baik cerita pendek maupun novella, hanya memaparkan ending dari sebuah potongan kisah. Bukan ending yang sebenarnya, karena kisah hidup seseorang terlalu panjang, dan cerita hanya memetik yang penting dan menarik saja. Tapi bukankah naif untuk menulis and they live happily ever after setelah sebuah adegan berakhir baik?
Sang putri yang menikah dengan pangeran idamannya setelah ciuman yang membangunkan dari tidur seratus tahun.
Putri dan raksasa berwajah seram yang melepaskan kutukan nenek sihir dan berubah menjadi pangeran.
Si tudung merah yang berkumpul kembali dengan neneknya, setelah melepaskan diri dari cengkeraman serigala berbulu domba.
Happily ever after sedikit naif, bukan? Hidup seseorang tidak bisa selamanya berujung di sana. Tapi tentunya kita semua mempercayai konsep itu - bahwa jauh di sana, hal semacam itu eksis. Memupuk harapan. Kadang salah berasumsi kalau menemukan pasangan hidup, dan berkeluarga adalah definisi paling tepat dari happily ever after.
And it sometimes is, really. Sometimes, you need to believe in something in order to feel it.
Pagi tadi, tiba-tiba saya ingin tahu... itu kan cuma ending sementara saja, ending dari sepotong kisah hidup. Bagaimana kalau suatu hari nanti sang pangeran tahu bahwa putri yang dinikahinya bukanlah penyelamat hidupnya, tapi hanya seorang gadis yang kebetulan lewat di pantai tempatnya terdampar? Apakah sang putri akan bungkam seumur hidup bahwa dia bukanlah putri duyung yang berenang untuk menyelamatkan pangeran dari maut di laut sana? Apakah pernikahan mereka bahagia? Apakah sang putri duyung masih memikirkan pangerannya, nun jauh di sana?
Setiap cerita - baik cerita pendek maupun novella, hanya memaparkan ending dari sebuah potongan kisah. Bukan ending yang sebenarnya, karena kisah hidup seseorang terlalu panjang, dan cerita hanya memetik yang penting dan menarik saja. Tapi bukankah naif untuk menulis and they live happily ever after setelah sebuah adegan berakhir baik?
Sang putri yang menikah dengan pangeran idamannya setelah ciuman yang membangunkan dari tidur seratus tahun.
Putri dan raksasa berwajah seram yang melepaskan kutukan nenek sihir dan berubah menjadi pangeran.
Si tudung merah yang berkumpul kembali dengan neneknya, setelah melepaskan diri dari cengkeraman serigala berbulu domba.
Happily ever after sedikit naif, bukan? Hidup seseorang tidak bisa selamanya berujung di sana. Tapi tentunya kita semua mempercayai konsep itu - bahwa jauh di sana, hal semacam itu eksis. Memupuk harapan. Kadang salah berasumsi kalau menemukan pasangan hidup, dan berkeluarga adalah definisi paling tepat dari happily ever after.
And it sometimes is, really. Sometimes, you need to believe in something in order to feel it.
2 komentar:
wah, makasih ya postingnya kak, tiba-tiba ada ide bikin cerita :)
Sama-sama :) good luck on that story.
Posting Komentar