Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Rabu, 17 Desember 2014

Suka Duka Menjadi Penulis

Setiap tahun, saya selalu menulis resolusi tahunan, membuat sedikit kilas balik dan bersiap menyongsong tahun depan. Bukan introspeksi serius, memang, dan kadang kala, saya akui resolusi yang saya buat tidak selalu terlaksana seluruhnya. Dan akhir-akhir ini, saya justru mengabaikan resolusi, dan hanya fokus pada hal-hal yang saya antisipasi di masa depan.

Tahun ini, saya tidak akan membuat resolusi muluk-muluk. Sebaliknya, saya akan menapak balik pada gundukan masa lalu yang menciptakan jalan menuju masa kini. Ini terinspirasi oleh sebuah pesan singkat yang masuk dalam inbox Facebook saya semalam, dari seorang pembaca di Bali, yang bertanya apa suka duka saya sebagai seorang penulis selama ini.

Jujur, pertanyaan itu awalnya tidak terlalu saya renungkan, karena menjawab suka dan duka selama perjalanan ini tidak dapat dirangkum dengan mudah. Namun kemudian, saya kembali berpikir tentang awal saya menulis. Rupanya, saya telah mulai aktif menulis sejak 2007, dan tahun ini merupakan tahun ketujuh saya meminjam istilah 'penulis' dalam resume hidup saya.

Saya bukan seorang penulis full time. Sebelum menjadi penulis, saya memiliki banyak peran lain - seorang anak, seorang karyawan penuh waktu, seorang jurnalis paruh waktu, seorang wirausahawati. Tahun lalu, saya mengambil peran seorang istri, dan tahun depan, seorang ibu. Saya juga sempat menjajali proofreading, dan banyak peran-peran kecil lain di luar penulis. Tapi, entah kenapa menjelma menjadi penulis adalah salah satu hal yang paling mendarahdaging dalam perjalanan karir profesional saya sejauh ini. Ya, meskipun tidak menulis sepanjang hari. Meskipun dalam setahun kadang saya tidak menelurkan karya. Walau blog ini bisa saja kosong selama sebulan penuh.

Suka duka menulis, tentu banyak. Entah bagaimana saya harus mendeskripsikan rasa, karena rasa itu rumit dan subjektif. Yang saya tahu, saya menyukai perasaan pada kala kata-kata bagaikan muncul begitu saja lewat tarian jemari pada keyboard laptop. Saya menyukai bagaimana karakter-karakter saya dengan sabar menuntun saya menuju cerita mereka, masuk ke dalamnya dan bermain di sana, sampai saatnya saya pergi. Saya menyukai rasa lega sekaligus puas yang menyusup begitu hari berakhir dengan beberapa ribu kata terketik rapi dalam file di komputer. Dan ketika naskah berubah menjadi buku, ketika kerjasama dengan editor, penata layout, pembuat kover dan proofreader menghasilkan sesuatu yang fisik dan dapat dibaca oleh orang lain, rasa itu menjadi lebih sulit untuk diterjemahkan. Pada saat-saat seperti ini, kebahagiaan yang dirasakan rasanya lebih besar dari harta materi yang bersanding dengan keberhasilan sebuah buku.

Duka - tentu saja setiap penulis memiliki porsinya akan duka, begitu pula dengan saya. Duka sederhana seperti membaca resensi buruk dari seorang pembaca yang tidak menyukai karya saya, misalnya, meskipun dalam tahun-tahun ini, saya telah belajar bahwa karya dan selera adalah subjektif - either you like it or you don't, and either way it's alright. Surat-surat penolakan naskah yang saya kumpulkan dalam folder khusus. Berbagai kesalahpahaman dari orang-orang yang belum mengerti bahwa sebuah karya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Buku-buku yang flop di pasaran dan menghilang begitu saja.

Namun, duka-duka itu rasanya kecil jika dibandingkan dengan perasaan kosong saat berhadapan dengan kursor yang berkedip dan tak bergerak di layar komputer. Bulan-bulan tanpa inspirasi, sedangkan adrenalin untuk menulis sudah terpacu. Keinginan menulis yang tak terpenuhi karena waktu yang terbatas, atau ide yang tak kunjung datang. Bagi saya, duka terbesar sebagai seorang penulis adalah ketidakmampuan untuk menulis.

Di luar itu semua, dengan pertimbangan pro dan kontra dalam menulis, jika harus memilih, apakah saya akan membuat pilihan yang sama? Ya, without a second thought. Walaupun menulis mungkin memakan setiap detik yang tersisa dalam jatah istirahat saya, meskipun menulis mungkin membuat saya begitu lelah saat selesai melakukannya dan tanpa sadar telah menghabiskan sepanjang malam... I'd pick being a writer every day of my life.

Dan itulah resolusi saya tahun depan. Dan saya harap, untuk tahun-tahun selanjutnya juga.

13 komentar:

Unknown mengatakan...

Setuju dengan tulisan Mba Winna. Bahwa duka seorang penulis, adalah saat ketidakmampuan untuk menulis. Saya bisa merasakan bagaimana rasanya saat ide kosong. Tapi di sisi lain, jari-jari sangat gatal ingin berpacu di depan layar. Ah!

Sukses terus Mba Win!

http://mankapriyani.blogspot.com/ mengatakan...

Wahh,, banyakk yah yg tlah dilalui, tiap segi khidupan pasti da suka dan duka'a,,
Sya akui pernah sperti itu,,, lum mnulis bnyak sih,, ehehe
Tpi smoga ka" sukses dalam berkarya ya,,, nd respon positif dri ka" ini makin membuat sya terinspirasi untuk mewujudkan mimpiku duluu,,, ;-)

Unknown mengatakan...

Semangat terus kak Winna !! :)
Semoga smakin baik ke depannya!! :D

Winna Efendi mengatakan...

Terima kasih atas pesan penyemangatnya, semua!

Unknown mengatakan...

Mba Winna, does it mean you're with a child now? Congratulations!

reginacintem mengatakan...

Kak Winna, saya pembaca setiamu. Terus berkarya dan jaga kesehatan :)

Winna Efendi mengatakan...

@Nur: I am! Thank you :D

@My Life: Terima kasih banyak :)

Rahmy Madina mengatakan...

Wah, hebat, menginspirasi sekali Kak.
Selalu suka sama tulisannya Kak Winna ^^

Fairus Salim mengatakan...

Terima kasih atas postingan blog-nya. Menginspirasi sekali.

Jujur saya sangat jarang membaca novel karya penulis lokal. Tapi setelah baca ini, saya janji akan membaca novel-novelnya mba winna. Tutur kata di blog ini sangat menggugah. Sukses terus ya ^__^

Ariestanabirah mengatakan...

Tulisan Kak Winna membuat saya sedikit melupakan rasa kecewa karena penolakan penerbit, Kak :). Terima kasih! Salam kenal juga.

Unknown mengatakan...

Terima kasih telah berbagi pengalamannya mbak.

Tang Winny mengatakan...

Jadi terinspirasi nulis karena karyanya kak Winna. Sukses terus kak..

Wenny Pangestuti mengatakan...

Bisa merasakan duka yang ini. Aku jadi belajar sebagai pembaca memang gak boleh asal menilai 'jelek' sebuah karya, karena proses menghasilkan karya khususnya buku itu panjang dan tak mudah. Namun, sebagai penghasil karya memang kita harus punya jiwa legowo untuk siap menerima kritik dan saran yg bisa membangun karya kita semakin baik.

"Duka - tentu saja setiap penulis memiliki porsinya akan duka, begitu pula dengan saya. Duka sederhana seperti membaca resensi buruk dari seorang pembaca yang tidak menyukai karya saya, misalnya,... "

Keep on writing!