Berikut sneak peek first chapter :) coming soon! Senin ini akan masuk cetak, mudah-mudahan akhir bulan sudah beredar di toko-toko buku ya..
Sakura Pertama di Bulan April
Ah, sakura.
Aku menghentikan langkah dan mendongak, menyaksikan hujan bunga sakura yang perlahan-lahan berderai menyentuh tanah. Kutengadahkan telapak tangan untuk menangkap helai-helainya yang jatuh tertiup angin. Kelopaknya terasa lembut seperti beledu.
Sakura yang mekar pada hari pertama masuk sekolah pasti merupakan pertanda baik; aku percaya itu. Lagi pula, warga Jepang selalu menganggap mekarnya sakura sebagai awal baru–karena itulah tahun sekolah biasanya bermula di bulan keempat setiap tahunnya.
Aku memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Segarnya….
Minggu pertama bulan April merupakan favoritku, saat kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran, dan berjalan kaki di kota terasa seperti berada di tengah padang bunga yang harum. Jalan setapak menuju Katakura Gakuen, sekolah baruku, dinaungi oleh pohon-pohon raksasa berbatang kekar, dengan dahan-dahan yang sarat oleh sakura. Ditambah lagi langit biru amat cerah, dihiasi gumpalan awan putih yang menandakan musim dingin telah resmi berakhir.
Haru, koko ni watashi wa kuru!
Baru sebentar menikmati suasana pagi yang nyaman ini, seseorang tiba-tiba menabrakku kencang dari belakang. Aku kehilangan keseimbangan, lalu terperosok ke depan; untung saja tak sampai jatuh.
Kubuka mata dengan gusar, tetapi sekelilingku telah sepi, padahal tadi masih banyak murid-murid berseragam yang lalu-lalang di sekitarku. Yang terlihat hanyalah sosok seorang murid laki-laki yang sedang berlari sambil sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan aku baik-baik saja. Tubuhnya pendek dan kurus, mengenakan seragam hitam yang serupa denganku, tetapi miliknya terlihat kebesaran di badannya. Dia terus berlari, tetapi ketika melihatku terpaku di tempat, dia berbalik dan berteriak lantang ke arahku. “Hoiiii! Kau akan terlambat, baka !” Sedetik kemudian, sosoknya kembali berlari, lalu menghilang di balik gerbang sekolah yang dicat hitam.
Sudah menabrak sembarangan, seenaknya menyebutku bodoh!
Sambil bersungut-sungut, kulirik sekilas jam yang melingkari pergelangan tanganku, lantas terkesiap. Dia benar, sebentar lagi aku akan terlambat! Seolah menimpali ucapannya, dari kejauhan samar-samar terdengar dentang bel sekolah yang bergema, membuatku berderap dengan kecepatan maksimum menuju gerbang yang sebentar lagi akan tertutup rapat. Penjaga sekolah paruh baya yang memegang serenceng kunci geleng-geleng kepala saat aku melesat masuk.
Kurasa, aku tahu apa yang dipikirkannya. Satu hal itu jugalah yang kugumamkan selagi berlari menuju ruang olahraga tempat upacara penerimaan murid baru akan dilangsungkan.
Dasar Tomomi, baru hari pertama, masa sudah terlambat!
**
Di luar dugaan, upacara penerimaan murid baru berjalan dengan lancar. Yah, kalau kau tak menghitung dua sosok murid terlambat yang terengah-engah muncul di ambang pintu, lalu mengendap-endap masuk ke barisan. Dan, sukses mendapatkan delikan dari seorang guru bermuka garang yang menangkap gerak-gerik kami. Hehehe.
Aku berdiri persis di belakang Sawada Chiyo. Kutarik kepangannya pelan. Dia berbalik, tersenyum lebar begitu melihatku. Chiyo adalah sahabatku sejak sekolah dasar, juga teman sepermainanku semasa chugakko dulu.
Ini adalah kali pertama aku melihat dia mengenakan seragam barunya, padahal kami berdua membelinya bersama-sama dua minggu lalu. Seifuku–seragam sekolah–Katakura Gakuen bermodel pelaut dengan kemeja putih dan rok lipit berwarna hitam untuk para perempuan, dan kemeja putih polos serta celana panjang hitam untuk para laki-laki. Kemeja murid perempuan memiliki kerah lebar berwarna gelap dengan garis putih, dan lipatan lengannya dihiasi motif yang sama. Secarik selendang dililitkan di balik kerah untuk membentuk dasi, dikaitkan dengan sebentuk emblem perak yang berukir nama sekolah kami. Menjelang musim semi, kami semua mengenakan seifuku berlengan pendek walau cuaca yang masih agak sejuk membuat para murid perempuan memakai kaus kaki panjang maupun blazer hitam bersama seragam mereka. Aku sangat menyukai seifuku baruku–terlihat dewasa, dan yang terpenting nyaman sehingga aku mudah bergerak saat mengenakannya.
Di antara teman-teman sekelas kami yang dulu, hanya aku dan Chiyo yang masuk ke sekolah ini. Kebanyakan di antara mereka memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah lama, atau masuk sekolah privat yang lebih berprestise. Untuk Chiyo, alasannya mendaftar ke Katakura Gakuen adalah karena aku juga mengirimkan aplikasi ke sini. Sementara bagiku, alasannya sedikit lebih rumit dari itu.
Katakura Gakuen adalah satu dari sejumlah sekolah menengah di HachiĹŤji, sebuah kota besar di regional KantĹŤ, yang berjarak empat puluh kilometer ke arah barat dari pusat Tokyo. Aku telah tinggal di sini seumur hidupku–sebuah kota yang menurutku unik, karena merupakan gabungan dari kota modern berpopulasi tinggi dan area rural yang masih tak terjamah. HachiĹŤji dikelilingi oleh Gunung Takao dan Gunung Jinba, tetapi juga memiliki area perbelanjaan dan kehidupan kota yang hidup sehingga sering kali menjadi destinasi favorit para turis.
Katakura Gakuen dikenal sebagai salah satu sekolah publik terbaik di HachiĹŤji. Ujian masuknya susah bukan main, dan bagi murid sepertiku yang harus mati-matian mempertahankan nilai di atas rata-rata, perjuangan masuk sekolah ini cukup besar. Kalau teringat masa-masa kami belajar untuk ujian masuk, mengisi lembar demi lembar kertas latihan ujian, membeli omamori kelulusan untuk keberuntungan… bisa masuk ke sekolah ini adalah sebuah keajaiban. Pokoknya, aku sangat senang saat menemukan nomor pelajarku tertera di papan pengumuman penerimaan murid.
Sekolah ini pun jauh berbeda dari sekolah kami yang dulu. Di sini, ada aura serius yang sangat terasa, mungkin dari cara para muridnya berseragam dan berbaris, tanpa cela dan tanpa melenceng sejengkal pun. Tenaga kerjanya juga terlihat profesional; guru-guru yang bertampang serius dan berbaris di balik podium, di belakang kepala sekolah yang sedang memberikan ucapan selamat datang.
Gedung sekolah baruku tinggi dan luas, terdiri dari bangunan-bangunan bercat putih bersih yang didirikan bersebelahan, mengapit kebun asri yang luas. Lapangan tenis, sepak bola, dan atletik dibangun di bagian belakang gedung, lengkap dengan ruang olahraga indoor untuk basket dan renang. Dibanding sekolah lamaku yang sempit dan tua, tempat ini memberikan kesan yang sama sekali berbeda.
Namun, alasanku masuk ke sini bukan itu.
Kulemparkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari sosok yang menjadi alasan utamaku masuk ke Katakura Gakuen. Dia yang selama tiga tahun belakangan selalu menghuni pikiranku. Dia tak terlihat. Aku kecewa, tetapi berusaha menghibur diri. Mungkin aku akan bertemu dengannya saat istirahat makan siang nanti.
Pandangan mataku berhenti pada barisan murid laki-laki. Anak yang tadi menabrakku ada di barisan paling belakang. Celananya kepanjangan, dasinya tidak terpasang dengan rapi, dan ada noda lumpur di ujung sepatu hitamnya, sepertinya dia tak sadar. Sudut-sudut bibirnya terangkat, bahkan saat dia tidak sedang tersenyum sekali pun. Alisnya tebal, hampir bertaut, tetapi bukannya memberikan kesan garang, justru ada sesuatu tentang dirinya yang membuatnya terlihat ceria. Kulitnya kecokelatan, tampaknya sering terkena sinar matahari. Pandangan matanya tajam, dan hidungnya agak bengkok, seperti pernah patah dan tidak sembuh dengan baik. Entah mengapa aku jadi memperhatikannya sedemikian rupa. Namun, memang ada sesuatu tentang dia yang bagaikan magnet, membuat orang sulit mengalihkan tatapan darinya. Kurasa, kalau diamati baik-baik, dia lumayan juga.
Sebelum sempat aku mengalihkan pandangan, dia menoleh dan menangkapku sedang mengamati dirinya. Bukannya memalingkan wajah, dia justru menjulurkan lidah dan menjulingkan mata dengan ekspresi dibuat-buat, kemudian menyeringai dan kembali memandang ke depan seolah-olah kejadian barusan tidak terjadi. Uh, dasar! Apa sih, maunya anak itu? Kutarik kembali pujianku barusan. Dia benar-benar menyebalkan.
Namun, bukan Tomomi namanya kalau menyerah begitu saja. Bertekad membalas perbuatannya, aku berusaha mencuri perhatiannya dengan mengibaskan tangan. Ketika akhirnya dia menoleh ke arahku, aku lekas-lekas memutar mata dan mengerucutkan bibir, memberikan ekspresi anehku yang paling konyol. Nah, memangnya hanya kau yang bisa?
“Hei, murid yang di sana! Apa yang sedang kau lakukan?”
Suara kepala sekolah yang dua kali lebih keras akibat efek mikrofon membuatku berhenti. Aku celingak-celinguk ke kanan kiri, mencari murid yang barusan ditegur di depan umum. Tapi, semua orang… kok, menatap aneh ke arahku, ya?
Wajahku merona ketika menyadari yang dimaksud kepala sekolah adalah aku.
Samar-samar, kudengar tawa anak itu membahana, diikuti dengan gelak murid-murid lain yang menertawakan kekonyolanku.
**