Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Senin, 02 Juni 2014

Mo (bagian 3)

Setiap pagi, Mo merebus sebutir telur. Hard boiled, selama kurang lebih sepuluh menit, hingga rangka telur mengeras, diikuti dengan putih telur yang lembut, lalu pusat kuning kemerahan yang lengket itu.

"Aku melakukannya setiap hari, tanpa absen. Kemudian, aku membiarkannya mendingin di panci. Sebelum berangkat, aku mengupas kulitnya pelan-pelan, dan memakannya bulat-bulat."

"Itu aneh, Mo."

Aku berdiri di tengah-tengah dapurnya, menyaksikan gadis alien itu merebus telur kesekiannya. Tiba-tiba rasa penasaran menerpa.

"Itu telur keberapa?"

"Dua ratus tujuh puluh satu," jawabnya mantap, sambil nyengir ke arahku. "Kecuali beberapa yang pecah dan tak termakan pada awalnya. Merebus telur, seperti hidup, butuh pengalaman."

Aku sudah terlalu terbiasa dengan filosofi-filosofi janggalnya, sehingga tak lagi menanggapi.

Apartemen mungilnya terletak di pinggir kota, di sebuah bangunan tua yang tampaknya akan runtuh, tapi ternyata cukup kokoh, dilihat dari plafonnya yang masih padat dan tak bocor di sana-sini, lantainya yang tak berderak seiring dengan pijakan, dan dindingnya yang tebal. Rumah Mo, di sisi lain, adalah sesuatu yang tak terduga.

Sejujurnya, aku tak tahu apa yang kuharapkan. Apakah ruangan studio kecil dengan barang-barang unik dari pasar loak yang melengkapi koleksinya. Entah rumah super bersih yang menunjukkan sisi higienis yang tak terlihat. Aku tak tahu. Sungguh, aku tak dapat menebak Mo.

Tapi, yang kudapati pada pandangan pertama adalah ruangan yang hampir kosong. Telanjang, tanpa karpet rajut warna-warni di atas lantai, tanpa buku-buku yang berserakan, tanpa bantal empuk yang beradu warna di atas sofa kulit usang. Tidak ada aroma makanan maupun wewangian ruangan. Tidak ada bingkai-bingkai foto atau lukisan antik. Tidak ada apa pun di sana.

"Kamu hendak pindah?" Itulah respons pertamaku, yang disambutnya dengan gelengan.

"Aku suka segala sesuatunya sederhana," hanya itu jawabannya.

"Kurasa, kamu cuma takut terlalu terikat pada sesuatu." Atau orang. Atau benda mati. Atau hubungan. Apakah pertemanan kami - jika bisa disebut demikian - juga termasuk dalam ikatan yang dihindarinya?

Dia menatapku, sejurus kemudian tertawa. Mengambil panci, mengisinya dengan air, dan memasukkan sebutir telur berkulit mulus begitu airnya mendidih. "Berhentilah menilai segala sesuatu dari pandangan pertama."

"Tapi biasanya aku benar."

"Mungkin," jawabnya, cryptic.

Dan selanjutnya, kami duduk di tengah-tengah dapur mininya, di atas kursi plastik merah jambu yang tak sesuai dengan meja kuningnya, menikmati sebutir telur rebus yang terlalu matang. Lebih tepatnya, dia yang makan. Aku duduk melingkarkan jemari di sekeliling gelas usang bercap ayam di permukaannya, yang penuh-penuh diisi kopi panas.

"Aku melakukan ini sejak dia meninggalkanku," ujar Mo, mulutnya penuh oleh telur yang belum dikunyah. Ini. Aku menunggu penjelasannya, dan hal itu datang lebih cepat dari perkiraanku. "Dia seorang fotografer. Majalah-majalah internasional. Fauna, flora. Tapi, akhir-akhir ini dia tertarik pada peperangan."

Ah. Fotografer perang, rupanya.

"Akhir tahun lalu, dia sempat menghilang beberapa bulan lamanya. Kukira dia mati, jadi korban perang tak disengaja, apalah. Aku mencoba mencarinya ke sana kemari. Beberapa lama kemudian, fotonya masuk majalah Amerika. Dia memenangkan penghargaan." Mo bangkit, meraih segulung majalah dari dalam sebuah lemari berpintu dua, dan mengempaskannya di atas meja. Majalah itu sudah tergulung-gulung di ujung, seperti sudah lama diteliti dan dilihat. Salah satu fiturnya adalah tentang foto seorang gadis kecil - usianya mungkin tak lebih dari sebelas tahun, dengan baju compang-camping, telanjang kaki, dan tulang belulang yang tampak mencolok dari balik kain yang menyelimuti dirinya. Tatapan matanya hampa. Rambutnya awut-awutan. Mukanya cemong. Dia terlihat seperti anak kucing kelaparan.

Tanpa perlu bertanya, aku menyimpulkan dua hal. Satu, mantan pacar Mo sungguh berbakat. Dia dapat mengambil sudut yang tepat untuk menangkap keputusasaan dalam ekspresi objek fotonya. Kedua, Mo belum mampu melupakannya.

"Malam itu, dia pulang untuk mengambil barang-barangnya. Beberapa buku seni, pakaian lama, hal-hal yang tidak lagi dia butuhkan," sambung Mo, telurnya hampir habis. "Kurasa, dia datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Bukan untuk barang-barang itu. Itu hanya alasan." Dia tertawa getir, sesuatu yang tak pernah kudengar keluar dari mulutnya - suara yang aneh, dan kosong.

Kami terdiam. Yang terdengar hanya denting sendokku di bibir cangkir.

"Kau tahu hal bodoh yang masih kulakukan? Merebus telur ini, hari demi hari, hanya karena dia tidak bisa berfungsi tanpa sebutir telur rebus matang setiap paginya. Aku dulu membencinya - harus bangun pagi untuk memasak telur, bergegas ke mini market terdekat kalau stoknya habis, dan mengupas kulitnya satu demi satu, seperti orang tolol saja. Sungguh buang-buang waktu."

Tapi?

"Tapi aku melakukannya setiap hari, bahkan setelah dia pergi. Ini rutinitas, dan lama-lama justru aku yang tak bisa berfungsi tanpa telur rebus sialan ini. Padahal aku membencinya. MEMBENCINYA. Telur berbau tengik yang terlalu keras, terlalu memuakkan. Setiap orang seharusnya memakan telur mereka setengah matang - di situlah letak tantangannya." Dia berceloteh tentang jumlah menit untuk mencapai hasil sempurna - tiga setengah menit - dan taburan garam serta lada, juga tekstur telur yang disukainya. Apa pun kecuali telur matang yang dicintai fotografer itu.

"Mo...."

"Tapi cukup sudah." Dia membanting sendoknya di atas meja, yang terpelanting jatuh ke lantai, tepat di samping kakiku. Bulir-bulir kuning telur berserakan di lantai. Mo bergerak menuju tong sampah, dan dengan satu gerakan cepat, membuang sisa sarapannya ke dalam plastik sampah. Punggungnya berguncang selagi dia membelakangiku, kepalanya naik dan turun dalam gerakan samar seolah sedang menangis. Aku kebingungan di tempat dudukku, tak lagi berniat menyeruput kopi yang juga sudah dingin.

Kemudian, dia berbalik. Di wajahnya terdapat sebuah ekspresi yang sangat bertolak belakang. Damai. Dia tersenyum kepadaku, senyum yang kukenal selama beberapa bulan belakangan.

"Mulai besok, aku akan memasak telur setengah matang."

Belum sempat aku menyadari maksud perkataannya, dia tertawa. "Kau mau melakukannya bersamaku?"

Aku sudah tahu jawabannya selagi aku membalas senyumnya.

"Ya."

**


3 komentar:

Safe and Sound mengatakan...

Sederhana, tapi cantik:)

Anonim mengatakan...

menarik banget baca ini

www.alatuji.com

Winna Efendi mengatakan...

Terima kasih :D