Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Jumat, 25 Maret 2011

Rumah Beratap Biru

Pada hari kamu pergi, aku masih meyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja. Toh, selama ini kita pun berdiri di sudut yang berseberangan, bukannya berjalan berdampingan sambil berpegangan tangan seperti yang seharusnya.

Semalam pun, aku masih menjalani rutinitas seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Masuk ke dalam mobil, memastikan aku aman terkunci di dalamnya, menstarter mesin, menyalakan radio dan memilih stasiun yang kusuka, kemukamun mengecek status bensin sebelum berkendara pulang. Seperti yang selalu kulakukan, ada maupun tanpa kamu.

Aku melewati jalan yang biasa - dua kali lampu merah, menikung ke kiri, melewati bagian belakang pasar basah yang pada malam hari dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak tetangga untuk bermain kartu, kemukamun berhenti di depan rumah beratap biru.

Rumah beratap biru ini kita beli bersama, walaupun kita tidak pernah menyebutnya sebagai 'rumah kita'. Memang kamu yang lebih dulu menabung, dan menyetor uang mukanya. Tapi kemudian aku pun mulai rutin menyisihkan sebagian besar penghasilanku untuk rumah ini, meski kamu tidak pernah memintaku melakukannya. Lalu, beberapa tahun yang lalu - waktu itu bulan Mei - kita pun sama-sama meninggalkan tempat tinggal lama kami untuk pindah ke rumah beratap biru tersebut. Seingatku, kita bahagia.

Aku selalu mengeluh bahwa rumah ini terlalu kecil. Ruang paling besar yang ada di dalamnya adalah kamar tidur, itu pun ukurannya tidak seberapa. Kamu berkata, ruang yang sempit pun dapat terkesan luas jika kita mampu menatanya sedemikian rupa. Jadi kita pun memasang sebuah tempat tidur dan melapisi lantainya dengan karpet, juga meninggikan rak dan memindahkan segala benda lain yang hanya akan menyesakkan ruangan.

Waktu itu, aku tidak sadar ruang yang kamu maksud adalah hati.

Setelah tiba di rumah, yang kulakukan adalah memastikan dua kali bahwa semua pintu dan jendela telah terkunci, kemukamun merangkak ke atas tempat tidur, masih dalam pakaian lengkap. Aku sering melakukan itu; dan biasanya kamu akan memelukku dari belakang, menghidu aroma parfum yang sudah pudar, saru dengan bau keringat. Dan biasanya, apa pun keletihan yang kukumpulkan dari pagi hari akan pupus menjadi tak bermakna. Tapi malam kemarin, aku tidak punya tenaga untuk memikirkan tentang biasanya. Aku masih merasa aku akan baik-baik saja.

Tapi lalu mimpi itu datang.

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur. Mencerminkan harapan, ketakutan, pertanda, dan apa pun itu yang pernah melintasi pikiran bawah sadarmu.

Semalam, aku bermimpi tentang kamu. Tapi aku tidak dapat melihat wajahmu - hanya punggung yang berjalan menjauh, siluet yang semakin lama semakin samar, sampai akhirnya menghilang seluruhnya. Entah fatamorgana, entah apa. Kamu hilang bersama salju yang merintik dari langit.

Aku tidak bisa tidur lagi setelahnya. Semalaman, aku memandang langit-langit, memperhatikan retakan halus dan sarang laba-laba yang mulai merembeti sudut kamar. Aku mencoba mematikan lampu, tapi kegelapan membuatku takut. Sampai akhirnya, aku terlelap, dalam usahaku untuk tidak memikirkan kamu.

**

Biasanya, apa pun yang kita ributkan, baik masalah kecil maupun besar, akan berakhir dengan saling berpelukan, di atas tempat tidur mungil dalam rumah beratap biru. Mungkin aku yang terlalu naif dalam mengira, masalah kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, dan dalam beberapa jam aku akan melihat kamu, dalam rumah beratap biru.

Tapi kurasa dalam hati aku tahu, saat kamu bilang kamu akan pergi, kali ini kamu tidak main-main.

Mungkin kami sudah terlalu lama menganggap satu sama lain sebagai properti. Sudah terlalu lama saling memiliki, dan sudah menyerahkan setiap bagian dari diri kepada satu sama lain. Setiap jejak di permukaan kulitku adalah milikmu, setiap serat dari rasa pernah kamu sentuh. Kamu pernah masuk ke dalam ruang paling gelap dalam diriku, begitu pun aku pernah melihat saat-saat terburuk maupun terbaikmu.

Namun, itu saja ternyata tak cukup untuk saling memiliki.

Terkadang, rasa saling memiliki yang terlalu kuat justru membuatku terlalu yakin bahwa kamu tidak akan pergi. Dan kali ini, seperti yang kubilang, kamu tetap pergi.

Aku tidak menangis. Aku tidak tahu apa yang harus kutangisi - apakah aku harus tersenyum, tertawa, marah, apa? Yang kutahu adalah rasa kosong di dalam dada yang terasa sesak. Jika aku menangis, apakah rasa itu akan hilang? Jika aku tertawa, apakah rasa itu juga akan hilang? Aku hanya butuh sebuah alasan untuk melakukan salah satu. Jadi aku pun tertawa.

Rasa itu tetap ada.

**

Kadang, aku yakin kamu akan kembali ke rumah beratap biru. Kadang, aku tak terlalu yakin.

Kemarin, seorang tetangga menanyakan perihal kamu. Katanya, ada sesuatu tentang berkebun yang ingin ditanyakannya.

Aku bilang, kamu sudah pergi.

**

just felt like writing this piece, Friday 16.05 p.m.
written using Ommwriter for Windows

2 komentar:

intan sari dewi mengatakan...

wahhh ini sesuai banget kak ama yang aku rasa sekarang.... Y__Y

hanya bisa berharap dia kembali dimana kita sama sama menyusun ruangan indah disini,, di "hati" ini

Aisyah A mengatakan...

Pergi.... pergi meninggal?? Kok sedih bgt seh...!? ;..;" uukh sroot