Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Jumat, 25 April 2008

Menunggu Naa

Sequel dari 'Di Hari Ulang Tahun Naa'

Julian berusaha mengetik, tapi langkah jarinya terhenti oleh sunyi yang mengungkung ruangan. Padahal biasanya hening ini akan terisi oleh Naa – mulai dari ocehan tak penting sampai senandung lagu yang biasanya hanya membuatnya kesal.

“Mengganggu konsentrasi,” begitu selalu gerutunya. Tapi Naa selalu hanya tersenyum lebar sambil meneruskan senandungnya yang fals.

Kini ingatannya akan lagu tersebut hanya membuat Julian sentimentil.

Sudah dua bulan apartemen ini kosong. Di malam dia melupakan ulang tahun Naa, gadis itu akhirnya memilih untuk pergi. Waktu itu Julian menghabiskan semalaman di kantornya, lembur sampai hampir tengah malam. Dia pulang dengan tubuh penat, tanpa mempedulikan pintu depan yang tak terkunci dan lampu yang belum dimatikan.

Paling-paling Naa sudah tertidur kelelahan ketika menunggu, begitu pikirnya. Tapi Naa justru terduduk di tepi tempat tidur mereka, dengan pakaian basah dan wajah pucat. Ketika Julian melihat bunga segar di atas meja dan secarik kertas reservasi di restoran favorit mereka, giliran wajahnya yang memucat. Dia lupa – hari itu hari ulang tahun kekasihnya.

Naa menatapnya lesu. Pandangannya nanar. Bibir bawahnya bergetar, membuatnya tampak labil. Dia habis menangis.

“Naa, maaf..”

Naa menggeleng. “Sudahlah, Ju.”

“Aku lupa. Pekerjaan di kantor lagi menumpuk, deadline-ku besok pagi..”

Lagi-lagi Naa menggeleng, menyetop ujung kalimatnya yang belum selesai. “Gak apa-apa.”

“Kamu menunggu di sana..?” Julian tidak berani menyambung pertanyaannya. Tidak salah lagi, Naa pasti menunggunya semalaman. Julian mengambil sehelai handuk kering dari lemari, mengusapkannya lembut di kepala Naa yang masih lembab oleh hujan. Naa melucuti pakaiannya yang melekat di tubuh tanpa suara, lalu mengenakan kardigan dari tumpukan cucian bersih.

“Tidurlah,” Julian berkata tak tega. “Kita bisa pergi makan malam besok.”

Tapi Naa hanya memandangnya lagi tanpa senyum. Hanya sebuah pandangan hampa yang pasif, sesuatu yang belum pernah Julian lihat di wajahnya sebelumnya. Biasa Naa akan tersenyum mengerti dan membantunya melepaskan mantel, lalu membuatkan kopi panas dan menemaninya bekerja sampai ia sendiri terlelap di atas sofa. Kadang Naa akan duduk menonton televisi dengan suaranya dibuat mute, supaya Julian tidak terganggu.

“Entahlah, Ju,” malam ini dia berkata, “aku rasa aku sudah lelah menunggu.”

Julian melihatnya menarik koper dan memasukkan barang-barangnya ke sana. Melihat Naa mencium pipinya untuk terakhir kali dan menyeret tas keluar, sesekali menengok ke belakang untuk mengecek apakah Julian akan mengejarnya. Julian terpaku, memandang hingga tatapannya buram, terdiam sampai senyap berubah memekakkan. Naa-nya sudah pergi.

Dan dia tidak menghentikannya.

**

Naa memeluk lutut sambil berlindung dalam selimut tebal. Salju pertama sudah turun, meleleh di lekukan jendelanya.

Ruang ini pengap – sebuah kamar dadakan yang dulu dijadikan gudang oleh eks teman kuliahnya dulu. Naa tidak ingin tinggal di sini, dia merindukan dapur mungilnya yang penuh dengan pot herbal, dia rindu memandangi hujan mengalir turun melalui kusen jendela ruang kerja Julian. Dia juga rindu pada bau kemeja-kemeja Julian yang dikenakannya setiap malam. Baju-baju itu selalu kebesaran untuk dirinya, tapi sangat nyaman dan membuatnya merasa aman.

Naa mencuri pandang pada telepon genggamnya yang tergeletak di balik bantal. Dia sudah mematikannya berminggu-minggu lamanya. Entahlah, dia belum ingin mendengar rekaman otomatis operator yang melaporkan tidak ada pesan masuk di inbox voicemail-nya. Dia tidak mau mengakui bahwa Julian mungkin tidak akan pernah berusaha meneleponnya, memintanya kembali atau sekadar memaafkannya.

Naa selalu memaafkan. Naa selalu menunggu. Hanya tidak malam itu. Tidak juga sekarang.

Dia sudah menunggu lima jam di depan restoran, memeluk tubuh yang menggigil kedinginan, tanpa payung dan tanpa harga diri. Dia menangis sendirian ketika menunggu, tak menghiraukan tatapan mengiba dari para door boy dan tamu yang bergegas mencari hangat di dalam sana. Ketika jam gereja berdentang sebelas kali, Naa menghapus air mata yang bercampur dengan tetes hujan di wajahnya, lalu beranjak pulang dan memaafkan dirinya sendiri karena telah begitu bodoh.

Tapi kenapa dia masih tidak bisa melupakan pria itu?

Dia terus kuatir apakah Julian makan teratur dan tepat waktu. Apakah dia tertidur dalam sweater tipis sambil menelungkupkan lengan di atas meja kerjanya? Bagaimana jika dia sakit, karena Julian sering sekali terkena flu.

Naa menyerah kalah, lalu memencet tombol hijau pada teleponnya. Cahaya terang menyala dalam remang ruangan, bergetar beberapa kali tanda ada pesan masuk. Naa menekan nomor voicemail-nya dan menempelkan telepon ke telinga.

“Pesan pertama. Naa, I’m sorry. Hari itu aku betul-betul lupa, pekerjaanku sangat banyak.. I’m really sorry.”

“Pesan kedua. Naa, aku baru sadar – aku selalu menyalahkan pekerjaanku. Menyalahkan keadaan sekelilingku padahal aku sendirilah yang patut disalahkan. Maafkan aku.”

“Pesan ketiga. I know it’s a little late.. but happy birthday.”

“Pesan keempat. Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday to you.”

“Pesan kelima. Naa. I need you.”

“Pesan keenam. Please come back.”

Pesan demi pesan terus berdatangan, terkumpul dalam rekaman inbox-nya dan membludak minta didengarkan. Pada awalnya Naa tersenyum sendu, mengingat alasan standar yang selalu digunakan Julian untuk meminta maaf. Lalu tertawa, mendengar nyanyian selamat ulang tahun yang pertama kali didengarnya dari Julian, dari seorang pria yang tidak pernah mau menyanyi di depan umum, untuk siapa pun. Dan menangis, ketika pria yang sama memohonnya kembali, dengan suara serak yang putus asa.

Pesan terakhirnya tak bersuara. Hanya ada hening – di antaranya samar-samar Naa mendengar desah dan air mata.

**

Julian menutup pintu dengan suara keras. Di tepi alas kaki dia melihat sepasang sepatu boots yang sudah sangat dikenalnya – milik Naa.

Cepat-cepat dia berlari ke dalam, mencari-cari sosok itu.

Seorang gadis sedang terlelap di atas sofa, tangannya menggenggam remote dengan televisi yang masih menyala tanpa suara. Secangkir kopi dingin sudah dibuat dan diletakkan di atas meja, di sebelahnya sebuah cangkir kedua menemani.

Gadis itu membuka mata ketika mendengar Julian masuk, lalu mengulaskan setengah senyum.

“Hei.”

Julian membalas senyumnya.

Malaikat kecilnya sudah kembali.

**

Tidak ada komentar: