Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Jumat, 30 Juli 2010

Menulis yang seperti itu

Belakangan ini saya sungguh berhenti dari sejurus rutinitas yang biasanya jadi bagian besar dalam hidup saya. Baik itu menulis, membaca, menonton DVD tengah malam sambil mengemil apa pun yang tersedia di meja makan.. Yang paling saya rasakan adalah, betapa kesibukan demi kesibukan menghimpit dan menjadi prioritas saya.

Tidak salah, memang. Prioritas-prioritas tersebut pun adalah hal terpenting yang saya pilih dan menjadi komitmen saya.

Kadang, jujur saya kangen pada menulis blog dan cerpen-cerpen mellow.
Kadang, saya kangen duduk di balik meja kayu saya di kantor, menerima telepon, browsing dan BBM di sela-sela kerja. Di mana saya masih berangkat jam 8 dan pulang jam 5 teng, kadang lebih awal dari itu.
Kadang, semuanya terlihat mudah dulu.

Tapi tidak ada yang saya sesali. Rindu-rindu kecil tersebut adalah nostalgia. Mereka adalah fragmen masa lalu yang menjadi bagian dari hidup saya, dulu. Sekarang adalah sesuatu yang lain. Masa kini adalah saatnya saya membangun cita-cita saya sendiri, bersama dia, bersama orang-orang yang saya kasihi. Masa saya untuk beranjak dewasa dan meninggalkan sedikit jejak-jejak usang yang sudah sepatutnya ditinggalkan.

Mudah maupun tidak, itu adalah proses, dan saya tidak mengeluh.

Belakangan, saya mulai panik karena sudah lama berhenti menulis. Jari-jari saya belum kaku, walau kalimat kadang berhenti di tengah jalan dan otak saya tidak lagi berlari lebih cepat dari jemari saya di atas keyboard. Seringnya, saya kehabisan ide. Kehabisan karakter. Berhenti di tengah jalan.

Apa yang saya cari, sebenarnya?

Jujur, saya masih menunduk kepada stereotype - apa yang saya kerjakan dengan sangat baik, yaitu menulis teenlit. Kisah-kisah pahit manis remaja dan lika-liku cinta persahabatan, bukankah saya sangat familier dengan itu? Bukankah memang keahlian saya adalah meramu kisah Nata-Niki yang serupa?

Lalu bicara mengenai perkembangan kepada sesuatu yang serupa namun setingkat lebih tinggi - chicklit. Ah ya, saya sudah terbiasa menciptakan karakter yang savvy, independent walau centil, suka belanja, metropolitan. Baru-baru ini seorang Grace Aria menjadi karakter utama proyek terbaru saya, seorang wanita tigapuluhan, single dan mencari jati diri. Hey, mengapa dia terdengar seperti Maybella dalam Glam Girls yang saya tulis?

Apakah kamu percaya pada writer's block? Apakah kamu percaya bahwa kamu benar-benar berhenti menulis di saat kesibukanmu sedang menggunung, dan kamu ingin mencari tantangan baru, ide baru?

Alasan-alasan itu benar adanya. Untuk saya, saya bisa mengakui bahwa saya sedang ingin bersemedi. Saya tidak ingin menulis menjadi beban yang saya sempilkan di antara jam kerja, hanya karena saya harus menghasilkan sesuatu, apa saja, yang bisa membuktikan eksistensi. Saya tidak ingin menganggap menulis adalah sesuatu yang harus mendefinisikan saya dan menjadi tanggung jawab saya. Saya tidak ingin tunduk pada karya populer yang itu-itu saja.

Menulis adalah bagian dari saya. Dan seperti hari ini, entah mengapa saya diam dan ingin menghasilkan sesuatu. Cerita mengenai seorang gadis yang termenung di pinggir jendela, bergumul dengan isi pikirannya yang sendu. Secangkir kopi di atas meja, tidak tersentuh. Dan sisanya berlanjut begitu saja..

Seperti cerita Lola sang pelukis jalanan. Sumire yang wajahnya rusak dan terkena amnesia. Seperti Georgia yang dibunuh ayahnya karena melihat ibunya terbakar sampai mati.

Seperti.. seperti.

3 komentar:

windy mengatakan...

this is nice, winna. :)

Winna Efendi mengatakan...

thank you, mbak Windy :) thanks juga sudah di-share di Twitter.

ialufthi laffly mengatakan...

senang menjadi pengagum perempuan semenarik kamu. makasih udh jadi perempuan yang "Menarik" :)