Kali ini merupakan chapter dari bagian epilogue, mengenai Heather dan Alice :) i actually love this chapter a lot, dan merasa sayang membuangnya dari keseluruhan novel. But I do what I have to do.
Here goes, enjoy!
Aku sedang membereskan tagihan-tagihan lama yang menumpuk di laci meja kasir ketika seseorang masuk ke toko dan berhenti di aisle yang menjual produk-produk kewanitaan. Dia berdiri dengan postur tak yakin, sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai dan tangannya terjulur untuk mengambil sesuatu tapi tak jadi. Dia mengenakan jeans selutut dan kaus tipis yang tampak kurang sesuai untuk cuaca musim gugur, rambut emasnya yang bergelombang jatuh terurai di punggung. Aku dapat mengenali figur itu dengan mudah – Heather Mills.
Dia masih terlihat seperti dulu. Rambut panjang yang berkilau, mata biru cemerlang, wajah yang sempurna. Untuk sesaat aku terpaku memperhatikannya, kemudian dia menoleh dan bertatapan mata denganku, cukup lama hingga akhirnya seulas senyum terukir di wajahnya. Aku balas tersenyum tentatif.
Kabar terakhir mengenai Heather adalah, dia kuliah di salah satu universitas lokal Maine, tapi dropout menjelang tahun kedua. Pacarnya Dustin mendapat beasiswa penuh untuk football di Michigan, dan memutuskan untuk mengambilnya begitu lulus sekolah. Mereka sempat berpacaran jarak jauh selama setahun penuh, sampai akhirnya putus di tengah jalan. Entahlah, setidaknya itu kabar yang beredar.
Dia memutuskan untuk tidak membeli barang yang tadi hampir diambilnya, lalu berjalan ke arah kasir. Aku masih memegang kumpulan tagihan di tangan, tidak yakin apa yang harus kukatakan padanya. Haruskah aku menganggapnya seperti pembeli? Menyapanya dengan ucapan khas welcome to Holden Pharmacy, how can I help you today? Kurasa tidak.
“Hai, Alice.” Dia yang memecahkan keheningan duluan.
“Hai.. Heather.”
“Temanmu?” Thomas, yang sedang membawa kotak kardus berisi batch parasetamol terbaru, menghempaskan barang-barangnya di dekatku sambil mengelap keringat. Aku dan Heather berpandangan; sama-sama tidak tahu bagaimana harus menjawab. Teman bukanlah kata yang tepat untuk mendefinisikan hubungan kami. “Ambillah break sebentar,” Thomas berkata lagi. “Aku akan mengambil alih di sini. Sekalian belikan kebab di restoran Turki itu ya, aku belum makan dari tadi.”
Aku melirik Heather, yang kelihatan sama salah tingkahnya, tapi lalu aku menjawab, “Oke. Aku akan segera kembali.”
Kami berdua melangkah keluar. Dia masih tak berkata apa-apa, tapi saat aku mulai berjalan ke arah yang berlawanan untuk membeli titipan Thomas, Heather menyentuh lenganku. Aku berbalik, agak terkejut. Heather tidak suka menyentuh orang-orang yang tidak disukainya, kecuali jika dia ingin mendorong atau melemparkan barang ke arahnya.
“Apa kabar, Alice?”
“Baik.”
Dia tersenyum kecut. “Kau masih membenciku, ya?”
“Aku tak pernah membencimu.”
Kali ini dia tertawa. “Really? Setelah apa yang kulakukan padamu?”
Aku mengedikkan bahu. “Aku tidak menyalahkanmu.”
Kami berdiri di jalan; Heather dengan kedua tangan di dalam saku, dan aku yang memainkan benang kusut dari sweatermerahku. “Hei.. mau minum kopi?”
Aku mendongak. “Baiklah.”
Kami membeli minuman dari The Gothic, salah satu kedai kopi favoritku, masing-masing memegang cangkir styrofoamdengan cairan kopi panas yang mengepul. Perasaan ini aneh – duduk di tepi trotoar bersama gadis paling populer Belfast Area High School, mantan cheerleader yang menyandang predikat prom queen di pesta senior kami. Gadis yang dulu sering mengacak-acak isi lokerku, menyabotase persahabatanku dengan Cat, mengataiku dengan julukan-julukan yang membuatku terkenal di seantero sekolah – si Bau, si Dungu, dan masih banyak lagi. Lucunya, aku tak pernah benar-benar membencinya. Dia adalah Heather, dan Heather akan selalu tetap seperti itu.
“Kau masih menghubungi Catherine?” Dia bertanya, pelan-pelan menyisip kopinya.
Aku menggeleng. “Kau?”
“Hanya pernah melihatnya di Facebook. Sudah bertahun-tahun sejak kami bicara.” Heather menoleh, ekspresinya tulus.
“Alice, I’m sorry. Kau dan aku sama-sama tahu akulah yang dulu membuat hidupmu seperti neraka.”
“Sudah kubilang, aku nggak menyalahkanmu.”
Dia menggeleng. “Aku sering memikirkannya.. memikirkanmu. Kurasa aku hanya cemburu, you know. Aku yang lebih dulu berteman dengan Catherine, tapi dia malah memilihmu. Dulu.. kami bersahabat. Tapi sejak dia dekat denganmu, segalanya berubah.”
Aku tidak tahu itu. Setahuku, Cat selalu menganggap Heather terlalu diva.
“Aku tahu apa yang kukatakan sekarang tidak akan mengubah apa-apa, tapi kuharap kau paham.” Dia menghabiskan sisa minumannya, kemudian melempar wadahnya ke tempat sampah – masuk dengan sempurna. “Cowok yang di toko farmasi tadi pacarmu? He’s hot.” Aku menyangkal dengan muka merah padam, tapi Heather hanya tertawa. “Jangan bilang kau masih suka sama cowok Asia itu – siapa namanya, Julian?”
Heather tahu? Apa perasaanku sedemikian kentaranya?
“Don’t worry, aku akan menjaga rahasiamu.” Heather bangkit dan membersihkan debu dari celananya. “Nah, sekarang aku pergi dulu. I’ll see you around, Alice, okay?”
Saat dia bangkit, barulah aku melihat sesuatu yang berbeda dari bentuk tubuhnya; perutnya tak lagi rata, memperlihatkan sedikit jendulan samar yang tak akan jelas terlihat jika kita tidak benar-benar memperhatikannya.
Bentuknya tersembunyi di balik karet celana jeans dan kaus longgarnya, tapi aku yakin aku tak salah lihat. Aku mengamati wajah Heather, mengerti apa yang sedang dicarinya di toko farmasi barusan, dan mengapa dia ragu mengambilnya. Untuk sesaat, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya aku hanya mengatakan, “Take care of yourself, Heather.”
Dia tersenyum dan memberikan lambaian singkat sebelum menghilang di tikungan jalan.
**
4 komentar:
Aku suka bagian akhirnya!!!
ayooo buat novel khusus Heather, kak! Hehe =))
bagus kak, ceritain tentang julian lebih jauh ya! juga tentang sifat sifatnya hehe :)
kenapa harus di delete bagian ini?
Posting Komentar