Welcome!

This is the official blog of Winna Efendi, author of several bestselling Indonesian novels.

Minggu, 09 September 2007

Kadaluwarsa

Expiry Dates. Tanggal kadaluwarsa. Aku memandang tanggal yang tertera di karton susu dengan muak, lalu membuangnya ke dalam tong sampah di sebelah kakiku. Barang ini sudah tidak ada gunanya, bukan? Jika dipaksa diminum, bikin diare. Jika tidak dibuang, akan meracuni seluruh kulkas dengan bau dan kuman.

Kenapa sih segala sesuatu di dunia ini harus ada tanggal kadaluwarsa? Tanggal pembuatan, lalu kehidupan, lalu dengan cepat, tanggal berakhir. Manusia lahir, hidup sebentar lalu mati. Tanggalnya sudah ditentukan dari sananya, tidak bisa ditawar lagi. Begitu pula dengan makanan, minuman, kosmetik, benda mati, baju-baju, cinta sekali pun.

Ya, cinta. Suatu hari bisa tumbuh, lalu berkembang, lalu seperti bunga yang layu, habis kadaluwarsa. Segala sesuatu yang sudah habis masa pakai, harus mengucapkan selamat tinggal, tidak bisa tidak. Kasihan sekali hidup ini bukan, jika kita cuma bisa hidup dalam jangka waktu yang ditentukan?

“Kamu kenapa, kok memaki-maki sendiri?” Suara Ibu mengejutkanku, dan aku baru sadar dari tadi aku berkomat-kamit dengan sumpah serapah itu.

“Ah, tidak, Bu. Susu ini sudah.. kadaluwarsa.” Aku beringsut naik, menutupi air mata dengan sebelah tangan.

Ibu mendesah. “Ya sudah, nanti kita beli yang baru. Jangan menangis.” Heh, ternyata mata Ibu masih tajam juga – atau mungkin pendengarannya, yang menangkap nada bindeng itu walau sedikit. “Sudah lewat lima bulan, nak. Masih mengingatnya lagi?”

Masih. Mengingat dia yang sudah kadaluwarsa. Di hatiku mungkin masa pakainya tidak lekang oleh waktu. Tapi ternyata, akhirnya aku juga yang sudah mati di hatinya.

“Adakah sesuatu yang tidak bisa kadaluwarsa, Bu?” aku balik bertanya dengan suara kecil, lalu menyesal telah mengatakannya. Terlanjur, Ibu sudah duduk di atas kursi sambil tersenyum. Pertanyaan kanak-kanak yang bodoh. Ibu bukannya akan menjelaskan proses kimia dan metafisika, kan?

“Barang bisa rusak. Udara bisa kadaluwarsa – dengan polusi. Rambut bisa rontok. Air bisa tercemar. Cinta.. sayangnya ada beberapa jenis cinta yang juga begitu.”

Aku tidak mau menjawab apa-apa, reaksiku bisa sangat berlebihan.

“Yah.. bukankah baik juga mereka bisa habis masa? Karena itu kita bisa menyingkirkannya, dan memulai baru.”
Aku tidak ingin menyingkirkan kamu. Kamu yang ingin memulai baru – lalu menyingkirkanku.

“Lalu bagaimana dengan cinta yang tidak bisa kadaluwarsa, Bu?”

Ibu tersenyum lagi. “Apakah cintamu sudah kadaluwarsa?” beliau bertanya kembali, lalu menutup mata. Keriput di ujung matanya bergerak oleh tarikan bibirnya.

Aku diam. Tidak, sampai sekarang cintaku padamu belum kadaluwarsa. Dan seberapa pun aku mencoba, kamu… tidak pernah habis di hatiku. Aku ikut memejamkan mata, dan aku tahu Ibu sedang membayangkan Ayah, yang lima tahun lalu meninggal karena stroke.

**

While I was thinking
Why does one’s life has to be branded with a certain expiry date?And worse, why does love have to bear an expiry date..?

2 komentar:

ghe desafti mengatakan...

wah winna..
aku baru baca yang ini.
kamu tau nggak aku punya puisi dengan ide yang sangat mirip.. cinta yang kadaluarsa.. hmmmmm...

Gita Sonya Margareta Soedjito mengatakan...

Aku pastikan cinta ku pada Tuhan dan keluarga ku tak akan pernah kadaluarsa... juga cinta ku pada "nya" yang mungkin juga telah menyingkirkanku dari hatinya untuk memulai yang baru... dan aku juga bertanya, mengapa cinta ku pada "nya" juga tidak kadaluarsa....???